Kamis, 16 Agustus 2018

SEPENGGAL KISAH DARI TITIK TERKECIL DI BUMI NUSANTARA

SEPENGGAL KISAH DARI TITIK TERKECIL DI BUMI NUSANTARA

Oleh : Rif’atul Maghfiroh

“Bermimpilah setinggi langit,
kelak jika jatuh, kau akan berada diantara bintang-bintang”
- Ir. Soekarno -

          Ibarat sebuah tujuan hidup kedua, setiap orang harus mempunyai mimpi atau cita-cita. Agar apa? Agar punya tujuan hidup yang jelas dengan senantiasa berpegang teguh pada tujuan hidup yang pertama. Tahukah kalian tujuan hidup yang pertama? Ya, tujuan hidup yang pertama adalah menyiapkan bekal untuk kehidupan selanjutnya, dengan menjalankan perintah dan menjauhi segala laranganNya.
“Tanpamu tak akan sama, tanpamu semua berbeda.
Kisahmu juga kisahku, selalu bersama aaaaa...”
-Nidji, Di atas awan-

        Ini adalah sebuah kisah singkat empat anak manusia yang mempunyai cita-cita dan tekad yang kuat. Dari yang awalnya masih asing satu sama lain menjadi lekat seperti halnya kertas dan perekat. Mereka adalah Ririf, Dela, dan Fifi yang sama-sama mahasiswi jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) tetapi berbeda kelas, serta Tea mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA). Keempatnya sama-sama bercita-cita menjadi seorang guru dan wirausahawan. Dan untuk mencapai cita-cita tersebut, pastilah dibutuhkan doa dan usaha yang sungguh-sungguh. Maka dari itu, selain belajar mata kuliah di kampus mereka juga mengikuti beberapa organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Ada salah satu organisasi dimana mereka berempat mengikutinya. Organisasinya adalah organisasi pecinta alam. Dan tahun ini resmilah mereka menjadi pengurus organisasi tersebut.

“Teman-teman 3 minggu lagi kan ada hari bumi, bagaimana kalau diadakan penanaman mangrove? Kalian setuju tidak?”
“ide bagus rif, kan momennya pas. Sambil memperingati sekaligus praktek langsung menjaga bumi”
“hahaha...Fifi...Fifi...kata-katamu itu lho. Tapi aku setuju juga dengan Ririf, momennya pas. Gimna Del menurutmu?”
“Emm...bagus juga. nanti kita gak ngajak mahasiswa saja, tapi dari masyarakat juga.”
“Oke nanti kita musyawarahkan bersama teman-teman yang lain dulu. Fi, tolong buatkan pengumuman di grub WA sekarang, kalau besok sore kita ada rapat terkait peringatan hari bumi sedunia”
“siap Rif. laksanakan” jawab Fifi selaku sekertaris organisasi.

         Sekilas tentang organisasi yang mereka ikuti. Organisasi mereka merupakan organisasi intra kampus bernama WAPALAM (Mahasiswa Pecinta Alam), didirikan sejak tahun 2005 dan masih aktif sampai sekarang. Ketuanya sekarang adalah Ririf dengan wakil ketua Ilham, sekertaris Fifi dan Reka, bendahara Dela dan Hiro, koordinator pengkaderan dan kajian Tea, koordinator sosial kemasyarakatan Rendra serta anggota WAPALAM yang berjumlah 30 orang.

     Singkatnya usulan Ririf diterima meskipun pada awalnya pengurus sebagian besar keberatan. Karena kali ini beberapa pengurus akan mengikuti Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dimana KKL sendiri tidak dilaksanakan serentak pada tanggal yang sama, akan tetapi berbeda-beda tergantung jurusan masing-masing. Namun setelah diyakinkan Ririf dan tiga orang sahabatnya, maka semuanya pun akhirnya menyetujui usul Ririf dengan dia dijadikan sebagai ketua panitia.
“Ada hal yang kurasa harus dimengerti tanpa harus diceritakan”
-Sajak bisu-

      Haripun silih berganti dan acara penanaman mangrove pun hanya tinggal seminggu. Masih ada beberapa proposal yang belum tersebar dan koordinasi antar karang taruna desa, serta lainnya belum ada kabar lagi dari Ririf. Meskipun mereka berempat satu kontrakan, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan Ririf. Yakni, sejak lima hari setelah rapat pertama guna persiapan acara mangrove. Melihat hal tersebut, ketiga sahabatnya pun merasa heran dan kecewa dengan sikap Ririf yang seakan lari dari tanggungjawabnya.
Sore itu terlihat Dela, Fifi dan Tea yang sebuah taman kota. Mereka sebelumnya sering pergi bersama dengan Ririf juga tentunya sebelum Ririf jarang kelihatan dan menghilang bak di telan bumi.
“Itu yang pakai kaos merah marun bukannya Ririf ya?”
“Mana Del?”
“Itu yang pakai kaos merah marun, pake celana sama kerudung kunyit Fi”
“Oo iya bener itu Ririf. Disampingnya siapa ya?”
“Pacarnya mungkin”.
“Benar-benar ya Ririf itu. Sudah tidak mau tahu dengan acara yang awalnya diusulkannya sendiri malah enak-enakan pacaran. Jangan- jangan selama ini dia alasan tidak bisa mengikuti rapat, menyebar proposal dan lain-lain gara-gara pacar barunya ini?”
“Wah bisa jadi Del”.
“Heii kalian berdua jangan seperti itu. Belum tentu apa yang kalian duga salah”.
“Bukannya begitu Tea. Sekarang kita berpikir logis saja, didepan kita sekarang Ririf sedang berdua dengan cowok dengan santainya. Sedangkan ketika dia kita ajakin rapat maupun menyebar proposal apakah dia pernah mengiyakan?”
“Iya juga. tapi...”
“Tapi apalagi Tea?...tadi kan sudah dijelaskan Dela dengan sejelas-jelasnya”. Ucap Fifi yang amarahnya sudah diujung umbun-umbun.
Tea hanya diam tak memberi jawaban. Akhirnya ketiganya pulang ke kontrakan.
“Seperti halnya sebuah wadah kecil yang terus diisi dengan air
Pastilah air itu akan tumpah pada waktunya”
-sajakbisu-
“Marilah kita sambut tuan putri kita yang gak jelas sekarang”. Ucap Dela dengan nada sinis
“Maksudnya?” jawab Ririf yang masih berada di posisi antara bingung dan lelahnya.
“Kemarin kemana saja? Diajakin rapat gak bisa, diajakin nyebar proposal gak bisa. Alasannya macam-macam, pakai acara bertemu dosenlah, ada kuliahlah. Memangnya kamu pikir kami semua gak tahu alasan dibalik menghilangnya kamu dari persiapan acara yang kamu usulkan sendiri?” ucap Fifi dengan nada kasar.
“Jadi kalian tahu? Tapi kenapa kalian nampak marah? Apa karena aku tidak memberi tahukan alasan yang sebenarnya?”
“Ya Rif, kami tahu semuanya. Tapi kamu sebenarnya punya hati gak sih. Kita itu sudah bela-belain kamu buat meyakinkan teman-teman tentang acara penanaman mangrove ini. Tapi balasan kamu apa? Bantu tidak pergi lepas tangan ya”.
Tea yang tadinya diam memperhatikan pun ikut andil memojokkan Ririf.
“Maaf teman-teman. Aku...”
“Aku apa? Mau mengaku juga kalau ternyata alasan dibalik semuanya itu karena kamu sering kencan dengan pacar barumu itu”.
“Kita sangat kecewa dengan sikapmu Rif. Ingat masih ada cita-cita yang perlu diwujudkan dan untuk mencapainya perlu proses, perlu perjuangan. Disini kita masih belajar, belajar bersama berjuang bersama. Tapi apa nyatanya sekarang? Kamu mengajak kita berjuang tapi perang belum selesai kamu mundur dan meninggalkan sahabat-sahabatmu di medan perang. Apa dimatamu sahabat itu seperti itu?”
“Sebentar!!!. dengarkan aku dulu te,man-teman. Ini tidak seperti yang kalian kira. Aku hanya pergi sebentar untuk kembali lagi. Dan sekarang ini aku kembali. Percayalah!!!”
“Meninggalkan sahabat-sahabatnya dimedan perang dan ketika selangkah lagi menuju kemenangan baru datang. Bagian mana yang seharusnya kami percaya?”
“Dalam sebuah organisasi perlulah adanya
kebersamaan, komitmen dan kekompakan
agar organisasi berjalan dengan baik.
DAN
Dalam sebuah persahabatan perlulah adanya
rasa saling mengerti, serta tidak meninggikan ego masing-masing
agar persahabatanmu kekal abadi”
-sajakbisu-

      Karena tidak tahan dipojokkan sahabat-sahabatnya, Ririf pun akhirnya sampai batas dimana dia pun yang hanya manusia biasa juga bisa marah.
“sudah cukup!!!” Bentak Ririf.

      Suasana pun menjadi tegang seketika. Hanya dentingan jarum jam yang terdengar. Ketiganya tahu semenjak mereka mengenal Ririf, dia tidak pernah marah. Dia merupakan pribadi yang tidak banyak bicara tapi pengertian. Bisa dikatakan paling dewasa diantara mereka berempat.
“Maaf sebelumnya tidak menceritakan alasan yang sebenarnya dari kemarin. Sebenarnya tentang lelaki yang kalian sangka pacarku itu masih keluarga dekat, dan alasan kenapa aku tidak pernah mengikuti rapat, jarang pulang kontrakan maupun yang lainnya, itu karena aku sering pulang dua hari sekali sejak Ibuku kecelakaan lima hari setelah kita rapat pertama. Tapi sekarang Ibu sudah sehat alhamdulillah.”. Ujar Ririf seraya tersenyum dan menahan air matanya.
Mendengar hal tersebut ketiganya pun syok dan langsung memeluk sahabatnya itu. Mereka tahu kalau orangtua Ririf tinggal satu yakni Ibunya. Karena Ayahnya telah meninggal dunia sejak dia masih berumur 7 tahun. Mendengar Ibunya kecelakaan pastilah Ririf sangat terpukul dengan hal tersebut. Dia akan berusaha sekuat tenaga menjaga bidadarinya baik-baik.
“Ririf maafkan kami”.
“Kamu kenapa tidak cerita?”.
“Maafkan kami Rif”.
“Ya tidak apa-apa. Salahku juga tidak memberitahukan dari awal, aku hanya tidak ingin menambah beban kalian saja. Karena ini juga sudah musim UTS, ditambah dengan akan diadakannya acara penanaman mangrove. Jadi yasudah biar kutanggung beban ini sendiri. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kok”.
“Bukankah dulu kita pernah berjanji saling membantu jika salah satu diantara kita terpuruk karena hilang semangat kuliah atau apapun itu. Jadi, sebenarnya jika ada masalah seperti ini lebih baik diceritakan saja siapa tahu kita bisa membantu”. Ucap Tea dengan penuh semangat.
“Benar itu Rif, kalau ada masalah cerita saja. Kita insyaallah bantu kok. Ya gak Del?”
“Ya...pastilah kalau itu. Setidaknya kalau tangan kita tak mampu membantu mungkin doa kita bisa
membantu. kita memang tidak tahu doa siapa yang akan diijabah oleh Allah duluan, akan tetapi manusia itu juga perlu ikhtiar, tawaddu selain diiringi dengan usaha. Karena pada dasarnya usaha saja tidak akan cukup”.
“Terima kasih nasehatnya teman-teman. Kalian memang sahabat terbaik”.
“Sama-sama”. Jawab ketiganya serempak
“Baiklah tinggal beberapa hari lagi acara kita. Bismillahirrohmanirrohimm...ayo semangat !! kita sukseskan acara kita!!!!”
“Siap laksanakan”
“Heiii itu kan kata-kata khasku Dela!!”
“Aku adalah generasi muda, hebat yang suka berkarya. Kata-kata seperti itu bolehlah kalau aku mengucapkannya. Karena aku adalah generasi merdeka. Merdeka!!!” jawabnya dengan semangat empat lima, kemudian lari menuju taman depan kontrakan. Disusul Fifi, Tea, dan Ririf.

Rabu, 15 Agustus 2018

Sakitnya Gue Suka Loe



Sakitnya Gue Suka Loe

           Cinta itu....gimana yah...? Susah sih ngegambarinnya. Apa coba hayoo? Udah ah kelamaan. Gini deh kalo menurut gue cinta ituu...cinta bisa datang kapan aja. Ibaratnya gini, seperti saat kita berjalan di pinggir lapangan, tiba-tiba pandangan kita tertuju hanya pada satu orang saja, bahkan ketika saat itu sedang ramai. Atau mungkin saat guru kita sedang memberitahu sesuatu yang sangat super duper penting justru hal itu menjadi nggak penting lagi, ketika mata kita terpaku pada seseorang yang bisa gue bilang “make me hipnotized, amazing, wonderrfull, beautifull, so cool, colorfull and haahaaa... make me semfrull.”

            Satu lagi, yang pernah gue alami. Kita dibuat senyum-senyum dengan sendirinya walaupun itu senyum kecil. Ketika seseorang sedang menertawakan leluconnya sendiri, meskipun bagi kita lelucon itu tidak lucu sama sekali. Intiya, semua yang melekat pada dia itu sempurna, walaupun bagi orang lain tidak sama sekali.Dan itulah, semua yang gue alamin ketika melihat dia. Iyaa...dia, Muhammad Ali Al-Abu Jinasah. Dilihat dari namanya mungkin cowok ini dikira anak sholeh kali yaa? Padahal anak ini semprulnya minta ampun. Mungkin harusnya nama belakangnya tuh diganti Abu Jenazah bukan Abu Jinasah, biar gokil sekalian tuh nama.Ali bisa juga Al, itu nama bekennya di sekolah. Tapi satu sahabat karibnya Michael sering manggil dia itu Jin, karena katanya Al itu sifatnya kaya jin kadang baik kadang nyebelin. Menurut gue bener juga sih, karena dia satu-satunya cowok yang gokil, cerewet, nyebelin, hiperaktif, dan selalu membuat gaduh seisi sekolah. Kalo gue manggilnya sih original aja Ali, iya Ali gue suka loe!

“Al, ntar kalo loe udah lulus, loe mo jadi apa?” tanya gue ke Ali ketika kita sedang duduk kumpul-kumpul di jam istirahat.
“Emm, jadi apa yah? Pertanyaan yang lumayan sulit,” Jawab Ali sambil mikir.
“Apaan sih loe Jin, pertanyaan kaya gitu aja sulit. Pakai mikir lama banget lagi. Emang loe punya otak, mikir segala,” Ledek Michael ketus.
“Apaan sih loe setan, pake nyangkut-nyangkutin otak segala, emang loe kira nentuin masa depan ga sulit apa. Itu pilihan Bro, kita salah nentuin pilihan aja akibat ke depannya bisa fatal. Kita udah kelas tiga SMA lho Bro jangan sampai salah,” Bantah Ali sok serius.
“Ceileeeh, sekarang loe juga bisa kaya gitu Bro, ternyata dibalik bakwan ada udang. Oke, kalo gitu loe mau ngapain kalo udah lulus?” tanya balik Michael.

          Gue hanya diem aja sambil senyum-senyum sendiri melihat tingkah mereka berdua saat berdebat. Gue juga bingung, padahal gue yang mulai, kenapa mereka berdua yang ribut?
“Okeeh,,, gue yakin seratus persen yakin binggo, gue mau jadiiii.....” jawab Ali dengan semangat berapi-api dengan tangannya mengepal layaknya Soekarno. Namun tiba-tiba kata-katanya terputus membuat semua orang menjadi penasaran.
“Jadi apaan? Gak usah alay deh gaya loe. Cepetan omongin, kelamaan loe,” Sergah Michael tak sabar.
“Oke-oke sabaran napah, gue mau jadi...artis.”
“Apaan? Artis lo bilang? Muka loe aja gak lulus sensor. Hwahaaa...,” ledek Michael sambil tertawa ala setan genderuwo. Gue pun ikut tertawa.
“Eh, gak usah gitu loe. Muka loe tuh yang gak lulus sensor, muka kayak genderuwo aja loe pamerin. Nama loe aja lagaknya pake inggris, padahal lo kan blesteran genderuwo. Kan cocokan gue kalo mo jadi artis, nama gue aja udah ditakdirin mirip artis.”
“Gak usah ngaco deh loe. Apaan coba nama loe?” jawab Michael ngga terima.
“Nih dengerin gue, nama gue Ali, tapi gue lebih suka dipanggil Al. Kenapah? Karena gue mirip artis. Makanya gue ditakdirkan untuk jadi artis,” celoteh Ali mirip Raina si pemeran wanita di trailer film “Magic Hour” yang sering ditampilin di channel teralay kita, S*TV.
“Eh loe tuh ya maho banget, yang bener nama loe tuh Jin, karena loe mirip setan.”
“Bener banget tuh,” tambah gue sambil memberi dua jempol buat Michael.
Mendengar perkataan gue, Ali langsung berdiri sambil nunjuk gue sama Michael bergantian dengan muka sok sadisnya.
“Loe semua rese kalo lagi laper!” katanya yang membuat kami semua tertawa terbahak-bahak.
***
“Nisa, sini deh ikut gue!” ajak Ali.
“Mau kemana Al?” tanya gue balik.
“Udah ayoo,” kata Ali sambil menggaet tanggan gue lalu menggajak gue keluar kelas.
“Kita mau kemana?”
“Udah loe manut aja ma gue,” jawabnya. Lalu kami berhenti di sebuah kantin yang sepi karena saat ini masih jam pelajaran wajar aja sepi.
“Ada yang mau gue omongin sama loe?”
“Iya apa? Cepetan nanti keburu masuk ke kelas gurunya!”
“Loe tau nggak, saat pertama kali gue ngeliat loe, gue udah bisa ngerasain sebagian dari nafas gue, karena loe itu tulang rusuk gue. Jika emang loe tulang rusuk gue? Pasti

           balik lagi ke tubuh gue. Tanpa loe gue hampa, gue kehilangan sebagian nyawa gue. Gue tahu loe pasti nganggepnya ini gombal, tapi gue ini seriusan,” kata Ali sambil natap mata gue. Gue hanya diam mulut gue kaku ngga bisa ngomong apapun.
“Oke, kalo loe nganggepnya gombal. Sekarang gue mau gombalin loe pake kata-kata gue sendiri. Karna yang tadi tuh...lirik lagu..hehehe.” Kata Ali lagi sabil tertawa malu lalu.
Gue yang tadinya diem kaku mati kutu pun langsung senyum karena omongan jujurnya. Nih anak emang semprulnya minta ampun. Tuh kan, di awal kan tadi gue udah bilang, dia itu bisa buat suasanya menjadi berwarna. Lihat aja katanya tadi seriusan, terus diem-diemman, buat gue melayang, terus gue dijatuhin pake kata-kata jujurnya yang buat gue bisa senyum-senyum sendiri.Lama Ali mikir gombalan apa yang mau dia omongin gue, susana pun langsung sepi karena ngga satu pun dari kita yang bicara.

“Gini deh loe kan pinter tuh pelajaran biologi? Gue ibaratin, kalo gue enzim, loe itu substratnya jadi biar bisa bekerja, kita harus bersatu. Jadi gimana? Loe mau ga jadi pacar gue?” kata Ali memecah keheningan sambil megang tangan gue.
Astaghfirullah, rasanya jantung gue mau copot, kaki gue lemes. Jantung gue, kepala gue berdenyut-denyut gak karuan. Rasanya gue pengen pingsan sekarang tapi gue tahan. Kali ini gue ngga bisa senyum lagi karena gombalannya, karena gue hanya fokus pada kalimat terakhirnya. Gue tetep mencoba untuk mencerna kalimat Ali yang terakhir dan membuat gue lama terdiam.
“Gimana menurut loe?”
“Eeemt, gimana ya? Gue bisa terima kog.”
“Beneran loe bisa terima?”
“Iyya beneran.”
“Makasih banget, loe emang...ah pokoknya loe yang terbaik,” katanya dan langsung memeluk gue erat.
“Busseet, loe gadis yang biasa dingin dan ketus aja bisa terima kata-kata gue, apalagi dia? Gue yakin kali gue pasti berhasil,” tambahnya lagi.
“Maksud loe apaan Al?”
“Iyaa, gini rencananya nanti sore sepulang sekolah gue mau nembak Mimi pake kata-kata kaya tadi. Dan gue minta loe untuk nilai tuh kata-kata. Loe bilang kata-kata gue bisa diterima, kan artinya kata-kata gue bagus. Makasih ya.”
Rasanya hati gue kaya ditusuk-tusuk pisau, mata gue udah berkaca-kaca. Gue pun segera menunduk menghindari tatapan Ali. Tadinya gue pikir dia beneran ngakuin perasaan cintanya ke gue dan kita berdua punya rasa yang sama. Tapi beneran ini sakit banget. Gue udah ga bisa

              nahan air mata dan membalik tubuh gue kemudian berjalan menjauhi Ali. Loe emang pinter Al, pinter mainin suasana, pinter mainin perasaan gue. Saking pinternya loe malah buat gue sakit, loe keterlaluan Al. Loe buat gue melayang secara tiba-tiba, lalu loe jatuhin gue gitu aja. Kali ini jatuhnya sakit Al, banget malahan.
“Eh, kenapa loe Sa? Main nyelonong pergi aja, Nisa tungguin gue. Gimaana menurut loe kata-kata gue ada yang kurang nggak?” teriak Ali kerena berjalan sedikit jauh darinya.
Mendengar katanya, gue berhenti namun tak berbalik menatapnya. Gue hanya memberi jempol gue mengarah kebawah isyarat payah. Sambil gue berkata keras mencoba untuk melepas semua sakit yang gue rasain.
“Kata-kata loe masih payah. Apaan? Kalo ngerayu itu gak usah dikait-kaitin sama pelajaran, dan kata-kata loe terkesan kuno tau, nggak kreatif. Itu kan lirik lagu, cuma loe ganti aja pake bahasa alay. Kalo mau nembak cewek nyatain aja langsung ke orangnya jangan pake orang lain,” Teriak gue sekeras-kerasnya agar bisa menutupi suara gue yang makin bergetar yang tak kuat menahan tangis.
“Lhooo, tadi kan loe bilang, loe bisa terima kata-kata gue, kog jadi gitu sih,” balas Ali. Gue cuma diam dan terus lanjutin jalan gue.
“Tapi ga papa, yang penting gue udah tau cewek itu maunya gimana kalo lagi ditembak, makasih ya sarannya. Doain gue ya, gue pasti bisa dapetin dia,” tambahnya.
Sebagai sahabat yang mencintainya gue cuma bisa ngacungin dua jempol gue tanda kalo gue mendukungnya.
“Oh ya, gue minta satu bantuan loe lagi, bisa ngga pulang sekolah loe buat Mimi agar bisa ketemu gue?” katanya sambil sedikit berteriak.
“Kalo loe diem, berarti loe mau. Loe kan sahabat gue. Walaupun loe dingin tapi hati lo Chaobella, gue suka gaya loe.”
Lama gue berpikir, terlintas dipikiran gue untuk mencoba melepas Ali untuk Mimi. Karena gue pikir kalaupun pada akhirnya mereka saling menyukai untuk apa ada gue ditengah-tengahnya, yang hanya sebagai penghalang. Toh, mereka juga cocok, Mimi cantik dan Ali ganteng, Mimi cerewet apalagi Ali. Mereka itu cocok.

                Waktu pulang telah tiba. Gue pulang sama Mimi, karena gue suruh Mimi nemenin gue buat piket nyapu di kelas. Walaupun sebenernya ini skenario gue buat Ali. Di lubuk hati gue yang paling dalam gue juga pengen tau gimana perasaan Mimi ke Ali. Kalo Mimi emang suka sama ali gue bertekad untuk ngelepasin Ali.

“Mi, loe tunggu disini dulu ya, perut gue mules,” kata gue sambil keluar meninggalkan kelas.
“Oke jangan lama ya kalo lama gue tinggal pulang lho,” balas Mimi
Gue segera mengirim sms ke Ali kalo Mimi di kelas. Gue pun berniat langsung pulang. Tapi, cuaca tiba-tiba mendung, sedetik kemudian turun hujan hingga gue mengurungkan niat gue untuk pulang. Gue lihat Ali berjalan menuju kelas sambil membawa payung. Dia meletakkan payungnya dan masuk ke kelas.
“Mimi sayang, gue mau ngomong sesuatu sama loe?”
“Apaan sih Al, sayang-sayang. Mau gue tabok loe?
“Gak mau lah sayang, gue tu maunya loe jadi pacar gue.”
“Sumpah loe sakit jiwa. Minggir deh loe!” Semprot Mimi sebal seraya pergi meninggalkan Ali yang tengah cengar-cengir. Bukannya sedih.
Gue lihat Al berjalan keluar kelas sambil membawa payung dan keluar dari gedung sekolah, kayaknya dia mau pulang. Melihat ngga ada orang lain lagi di sekolah gue pun ikut pulang walaupun gue ngga bawa payung. Hujan bertambah deras, gue mutusin untuk berteduh di emperan kecil warung depan sekolah. Walaupun ngga nglindungi gue sepenuhnya dari hujan, tapi seenggaknya baju gue ngga basah kuyup kena hujan. Udah lama gue berteduh tapi hujan ngga reda-reda juga. Gue terus kepikiran Ali, gimana tadi dia nembak Mimi? Apa Mimi nerima Ali jadi cowoknya? Walaupun sakit tapi gue ngga bisa berhenti mikirin Ali.

              Samar-samar gue lihat cowok sedang berlari kecil menghampiri gue dengan basah kuyup dan ikut berteduh. Gue kaget karna cowok itu adalah Ali.
“Loe ngapain ujan-ujanan Al?” tanya gue ketika nyadar kalau baju yang dia pakai basah kuyup.
“Ini namanya berteduh. Kalau ujan-ujanan gue ngga bakalan disini tapi di sono noh,” katanya seraya menunjuk ke arah jalanan yang dibasahi oleh rintik hujan.
“Terserah loe deh Al,” kata gue ngga menggubrisnya.
“Hehee..gue abis jadi pahlawan dong buat Mimi,” Jawabnya seraya ikut berjongkok disamping gue.
“Pahlawan?” tanya gue bingung.
“Yuhuuu, gue habis nyumbangin payung gue buat dia. Tadi gue liat dia berteduh di emperan toko sebelah sana, nah gue samperin. Gue rayu-rayu dan akhirnya gue ikhlasin payung yang tadi gue pake buat dia. Kasian kalau cewek cantik sakit,” Jelasnya sambil cekikikan sendiri.

               Gue mencoba tersenyum mendengar penjelasannya. Hati gue sakit mendengar betapa Ali sangat mementingkan Mimi. Gue mau terlihat di mata Ali. Gue ingin disamain kaya Mimi. Gue iri sama Mimi.
“Kenapa muka loe jadi melow gituh?” tanya Ali bingung.
Gue cuma geleng-geleng aja. Posisi kami kini jadi duduk lesehan karena capek jongkok terus.
“Kapan loe berhenti ngejar Mimi?” tanya gue memecah kesunyian.
“Ya ntar kalo udah dapet lah,” Jawabnya santai.
“Kalau ga dapet-dapet?” tanya gue lagi.
“Ya pasti dapet lah!”
Cinta mati ya Al sama Mimi? Kapan bisa cinta sama gue? Gak akan ya? batin gue dalam hati. Meski tadinya gue mau dukung cinta Ali sama Mimi, gue ngga bisa. Gue ini manusia bukan malaikat. Gue juga ingin bahagia bukan terus menerus merasakan sakit yang gue mau.
“Loe ngga kedinginan ya?” tanya Ali membuyarkan lamunan gue.
“Dingin sih, tapi gue lihat loe lebih kedinginan dari pada gue. Gigi loe aja kelotekan ngedance kaya gitu,” ledek gue
“Lha emang, nih pegang tangan gue,” seraya menarik kedua tangan gue untuk digenggamnya.
Refleks jantung gue berdegub sangat cepat. Gue merasakan kulit tangannya yang dingin dan basah.
“Anget juga tangan loe. Pinjem ya?” katanya sambil nyengir lebar dan masih menggenggam tangan gue erat.
         Gue mengangguk mengamati wajahnya yang rupawan. Ali rela kedinginan dan basah kuyup demi orang yang dia sukai. Dan gue rela menghangatkan cowok kedinginan yang gue sukai. Ini wajar ngga sih? Kini Ali membawa telapak tanganku ke kedua pipinya. Gue sedikit terkejut sehingga jantung gue kembali berulah.
“Gue kedinginan!” katanya yang membuat gue tertawa kecil.
“Siapa suruh sok jadi pahlawan yang rela basah kuyup.”
Andai selamanya bisa kaya gini. Andai gue yang bisa buat dia berkorban. Andai dia peka dan sadar kalo gue suka sama dia. Andai dia tahu seberapa gue ingin memilikinya. Ali gue suka sama loe...!
“Beneran gombal loe Al! Loe bilang loe suka sama gue! Tapi loe mesra-mesraan sama cewek lain! Loe sama aja. Nih payung loe gue balikin,” teriak seorang cewek yang membuat gue dan Ali menoleh ke sumber suara tersebut. Dihadapan kami sudah ada Mimi yang marah

            dengan mata yang sedikit memerah dan berkaca-kaca. Lalu dia membuang payungnya dan pergi begitu aja.
“Mii, gue bisa jelasin!” teriak Ali yang membuatnya berdiri dari posisi duduknya.
Gue mohon Al, loe jangan pergi kejar Mimi. Disini aja sama gue, genggam tangan gue kaya tadi! Please Al! Teriak gue dalam hati. Ali berjalan menuju tempat payung yang tadi dibuang Mimi kemudian mengambilnya.
“Sa, gue duluan ya?” kata Ali singkat lalu ninggalin gue untuk nembus derasnya hujan buat nyusulin Mimi.
“Gue suka sama loe Al,” teriak gue diantara derasnya hujan yang sekarang lagi jatuh di bumi. Gue lihat Ali behenti dan bebalik ke arah gue.
“Loe ngmong apa?” samar-samar gue denger teriakannya. Apa harus gue ulangi ucapan gue tadi? Gue menarik napas dalam-dalam dan tersenyum ke arahnya.
“Jangan nyerah loe Al” teriak gue sebisa yang gue mampu. Gue lihat Ali mendengarnya dan tersenyum ke gue sambil mengacungkan jempol kepada gue tanda dia mengiyakan. Lalu dia berbalik lagi dan kembali berlari mengejar Mimi.
             
             Gue rasain dada gue semakin sakit. Gue peluk kedua lutut gue dan gue benemin wajah gue disana. Tanpa gue sadari air mata gue udah mengalir. Sebelumnya, pantang buat gue untuk menangis. Karena gue udah berjanji sama diri gue sendiri untuk ngga menangis karena orang lain atau untuk orang lain kecuali jika itu untuk orang tua gue. Tapi nyatanya sekarang gue nangis buat Ali? Kenapa seorang Ali bisa buat gue nangis? Lihat, sekarang gue kehilangan semuanya. Ali udah ga mungkin gue dapetin karena hatinya bukan untuk gue. Sedangkan Mimi, gimana lagi gue bisa dapetin kepercayaannya sebagai sahabat gue? Dia pasti benci banget sama gue.
Sekarang gue berdiri dan berjalan ditengah hujan hanya untuk menikmati tangisan gue, gue ingin nangis sepuas-puasnya di tengah hujan. Karena ngga akan ada satu orang pun yang melihat gue nangis atau pun dengerin gue nangis. Gue lepasin air mata luka gue agar mengalir bersama derasnya air hujan.
      
              Mungkin ini adalah masa dimana gue harus merasakan sakitnya patah hati sebelum mendapatkan  cinta yang layak gue dapetin. Cinta yang dapat membuat gue bahagia untuk jangka waktu yang panjang. Dan kalau bisa buat selamanya. Anggap aja Ali sebagai cinta monyet dan cinta dalam hati gue. Paling ngga dia udah pernah buat gue bahagia karena kehadirannya.
~

Selasa, 14 Agustus 2018

Kakak, Aku Titip Permata-permataku


Kakak, Aku Titip Permata-permataku

     
       Hembusan angin malam dan kerlap-kerlipnya sinar kecil dari langit membuat malamku semakin hening menemani diri ini yang duduk terpaku di serambi rumah, merasa bersyukur mempunyai hal yang terindah yaitu keluargaku. Dari dalam rumah terdengar suara.
“Gendis…ngapain di luar? Masuk gih, di luar dingin.”
Ya, itu ibuku. Memanggil nama pendekku Gendis, sedangkan nama panjangku Gendiiiiiisssss. Hehe, memang nama pendekku sama dengan nama panjangku.
“Iya Bu.”

        Jawabku singkat menuruti perintah ibu. Lalu tanpa ragu aku masuk ke rumahku yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, lantainya berupa tanah yang diambil dari pinggir kali. Lalu atapnya dari genteng berwarna merah kehitaman karena sering terkena asap bediang. Ya, bediang adalah menyalakan api namun banyak asapnya untuk membakar sampah di dalam rumah. Biasanya untuk keperluan hewan peliharaan khususnya sapi.
“Duorrr… ngalamun apa coba? Malam-malam kok ngalamun, malam-malam ya tidur di kamar, di atas kasur yang empuk, terus mimpi-in kakak yang ganteng ini. Hehe,” teriak kakakku Ilham ke arahku di saat jeda iklan tengah mengganggu acara mereka.
“Ngapain mimpi-in Kakak, mending mimpi-in sapi di kandang!” ledekku kepada kakak.
“Enak aja aku disama-samain dengan sapi, ya lebih keren aku lah,” balas kakak seperti nggak terima dengan ledekanku.
“Sudah…Sudah… Kalian kok malah berantem,” lerai ibu kepada kami yang semakin berisik.
“Emang nggak sama lah, lha wong lebih putihan sapinya, hahaha. Kabuuuurrrr…”
Aku langsung menuju ke kamarku seakan takut kalau kakak akan mengejar dan marah.
“Awas kamu ya...” ancam kakak sambil sedikit bercanda.
***

         Aku masih anak sekolah yang baru duduk di bangku kelas XI SMA favorit di kota Serok atau biasa disebut SMAROK sejauh 5 km dari kampungku. Aku selalu berangkat sekolah bersama teman baikku bernama Malika.
“Tet..tet..” eitz… bukan suara bel lho, tapi suara klakson motornya Malika. Aku selalu dibonceng Malika dengan motornya yang nama motornya itu mirip temannya beta itu tuh. Iya, betul sekali yaitu alfa. Emang sengaja atau nggak, padahal dia itu anaknya kepala kampung kami. Tapi dia itu tidak mau memperlihatkan kalau Momo itu anak orang berada. Momo adalah panggilan sayangku kepada sahabatku itu.
“Ih.. kok kamu mau sih Ka, temenan sama anak tukang gethuk ini. Terus mau aja gitu jadi tukang ojek gratisnya dia. Hahaha. Padahal kamu kan anak orang kaya,” ledek temanku Rere dan Sela kepadaku yang baru tiba di parkiran seakan mereka tak mau berhenti untuk menghinaku.
“Memangnya kenapa kalau dia anak tukang gethuk? Apa kamu nggak suka gethuk? Apa kamu pernah dilempari gethuk? Sampai kau menyalahkan gethuknya? Bukankah gethuk itu makanan tradisional yang harus kita lestarikan? Betul tidak? Hahaha. Aku berteman karena aku sayang sama dia seperti saudaraku. Apakah sayang itu harus memandang dia miskin atau kaya? Nggak kan? Percuma, ngomong sama kalian yang nggak tahu arti persahabatan sama sekali,” jawab Momo dengan tegas dan lancar.
“Makasih ya Mo!”
“Makasih untuk apa sih Dis?”
“Untuk tadi ah, waktu kamu belain aku. Aku terharu tahu.”
“Aku nggak butuh makasih darimu Dis.”
“emh…“
“Kamu kenapa sahabatku? Aku memang nggak butuh makasihmu, karena aku nggak ngasih apa-apa ke kamu. Aku cuma pengen menjaga sahabatku karena aku menyayangi sahabatku, nggak lebih dari itu.”
“Terima kasih ya. Eh, nggak jadi deh, kamu nggak butuh makasihku eg. Tapi aku pengen meluk kamu sahabatku.”
Sungguh, Momo bagaikan permata kedua setelah keluargaku.
Dan di saat lonceng sekolah berdentang dengan kencangnya, seluruh siswa berhamburan keluar kelas bak gerombolan semut yang ingin pindah sarang. Tak ketinggalan aku yang mengajak Momo alias Malika untuk pertama kalinya main ke gubuk kecil keluargaku yang kuanggap sebagai istana.
“Tok..tok..tok.. Assalamu’alaikum,” kataku sambil mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
Kenapa tiga kali? Karena itu sunnah. Kenapa itu sunnah? Karena Allah suka dengan sesuatu yang ganjil. Kenapa bisa begitu? Nah, kalau itu aku kurang tahu, coba tanya ke pak ustad, soalnya aku bukan ustad. Oh ya, lama bener buka pintunya.
“Assalamu’alaikum, ini Gendis, Bu.”
“Wa’alaikumsalam… iya,” sahut Ibu dari dapur yang mungkin sedang masak lalu membukakan pintu.
“Cring…“ kataku sok memberi kejutan.
“Lho… siapa ini? Kok Ibu sepertinya kenal!”
“Ya iyalah Bu, ini kan anak kepala kampung Caping ini,” jelasku.
“Kenapa kamu ajak ke rumah yang jelek ini? Nanti kalau kamu dimarahi Ibunya!”
“Nggak papa kok Bu.. bagiku rumah ini nggak jelek.” Kata Momo yang ingin meyakinkan Ibu.
“Ibu, kok sepi sih?” tanyaku kepada ibu karena suasana rumah sunyi, sepi, hening, dan tidak ada orang kecuali ibu yang sedang asyik bercengkerama dengan wajannya yang baru berumur dua jam yang lalu.
“Kakakmu sejak pulang dari merantau seminggu yang lalu sering keluar jalan-jalan sama temannya. Ibu nggak tahu kemana. Kalau bapakmu belum pulang dari sawah. Sana gih, Malika diajak makan dulu ke dalam.”
“Iya bu,” jawabku dengan singkat.
Tiba-tiba..
“Duorrrr….”
“Kak. Matanya itu lho dijaga,” ucapku merusak keheningan.
“Hus, jangan gitu. Ayo makan Ham, nih sama adikmu dan temannya, Malika. Tapi sana mandi dulu,” bela ibu kepada kakak. Kakak langsung ke kamar dan mandi.
“Lha Kak Ilham ngliat Momo sampai gitu sih,” balasku ke ibu karena tak terima kakak dibela ibu. Memang nggak salah sih, banyak lelaki yang suka pada Momo. Karena ia cantik, namun kalau soal manis, masih manisan aku. Hehe, namanya juga Gendis yang artinya gula, gula kan manis. Momo juga berperawakan tinggi, karena ia lebih tinggi 2 cm dariku yang mempunyai tinggi 156 cm. Rambutnya yang hitam dan panjang terurai menambah ayu di wajahnya. Tak aneh jika di sekolah ia jadi Miss SMAROK.
***

             Ketika aku duduk di depan rumah, kakak menghampiriku berharap kakak akan mengakrabkan diri kepadaku setelah akhir-akhir ini jarang bersama karena ia sering pergi.
“Dis, temanmu itu namanya Malika? Kakak sepertinya suka dengannya. comblangin dengan Kak Ilham ya Dis?”
Tanya Kak Ilham seakan ingin tahu karena Ia jarang di rumah. Ia kerja merantau di luar kota dan hanya seminggu di rumah. Tiga hari sudah berlalu dan ia akan pergi kerja kembali setelah liburnya berakhir.
“Oh, cuma tanya itu. Iya namanya Malika tapi, aku sering panggil dia dengan sebutan Momo. Ia anak kepala kampung ini,” jelasku.
“Plizz Dis..”
“Iya deh,” jawabku karena tak tega kepada Kakak.
Aku tahu kakak orangnya pendiam, baru pertama kali ia kenal cewek langsung suka. Soalnya ia sulit untuk jatuh cinta. Bahkan ini cinta pertamanya. Aku pun tak tega untuk menolak permintaan tolongnya.

          Setelah kakak masuk ke dalam rumah dan tidur, aku baru ingat kalau Momo sudah punya pacar anak kuliahan. Aku bingung karena aku tak mau merusak harapan seorang kakak yang paling aku sayang, terhadap cinta pertamanya. Namun di sisi lain, aku tak mau merusak hubungan sahabat yang paling aku sayang dengan kekasihnya. Tiba-tiba ibu datang menghampiriku.
“Nduk.. kamu kan cewek, mbok yo ngalah sama kakakmu. Kakakmu nggak seperti kamu. Dia orangnya pendiam, kalau dia minta sesuatu ya diturutin. Kata kakakmu tadi siang kamu disuruh beli es tapi kamu nggak mau?” Entah kenapa tiba-tiba ibu bicara seperti itu.
“Bukan gitu Bu, tapi tadi siang aku cape’, di sekolah kegiatan banyak.”
“Gini lho Dis, kakakmu juga jarang di rumah karena kerja, paling setahun pulang cuma dua kali. Ia kan juga kerja buat bantu Ibu dan Bapak bayar sekolah kamu.”
“Iya bu,” jawabku dengan nada paling rendah.
Aku semakin bingung karena ucapan Ibu itu. Aku tak tahu harus bagaimana. Karena aku tak mungkin bilang tentang kak Ilham yang suka kepada Momo, karena nggak boleh sampai ada yang tahu. Aku bak buah simalakama yang memang harus mengorbankan salah satu dari hal yang berharga bagiku. Aku sayang keduanya. Aku sayang kakak dan ibu, namun aku juga tak mau kehilangan Momo.
***
“Kak. Bangun Kak, jogging yuk.”
“Ogah, mending tidur. Jangan bicara denganku!! Sampai kamu sudah mendekatkan aku dengan Malika!” tolak kakak sambil menarik selimutnya lagi.
Aku lari sendiri di bawah langit yang masih bersih, dan dihiasi garis sinar dari ufuk timur sambil berfikir bagaimana mendekatkan kakak dengan Momo.
“Hai Dis…”, sapa Momo kepadaku yang memecah lamunanku.
“Eh, hai juga Mo, bikin kaget aja.”
“Lagi mikirin apa sih? Mikirin aku ya?”
“Bukan apa-apa kok Mo. Oh ya, kamu nanti siang ada acara nggak?”
“Memangnya kenapa Dis?”
“Nggak papa kok, cuma pengen ngajak makan bakso bareng aja.”
“Owh, tumben nih. Jarang-jarang kamu ngajak makan bakso bareng. Boleh, apa sih yang nggak buat sahabat?” jawab Momo yang meng-iya-kan tawaranku.
“Tunggu aku ya Mo, di warung dekat pasar jam dua nanti siang.”
“Oke, siap Gendis yang manis!” kata Momo dengan semangat sambil mencubit kedua pipiku yang agak tembem.
Aku dibuat cemas dengan keputusanku sendiri. Tapi aku mencoba berfikir tenang. Aku mencari kakak, ternyata ia berada di belakang rumah membantu ibu mengambil ketela untuk dibuat gethuk.
“Kak, nanti siang aku meminta Momo ke warung bakso dekat pasar jam dua. Kamu jam dua lebih sepuluh menit ke sana ya.” Bisikku ke telinga kakak agar tak terdengar oleh ibu.
“Oke. Makasih ya Gendis,” jawab kakak kegirangan pergi ke kamar.
Aku tersenyum melihat tingkah aneh kakakku yang baru merasakan cinta. Namun di sisi lain aku juga sedih harus mengorbankan sahabatku.
***
             Sejak jam setengah satu aku mondar-mandir seperti setrika yang nggak panas-panas. Namun beda denganku yang sudah panas dingin di kamar memikirkan bagaimana kalau Momo tahu jika aku merencanakan semua ini.. Ternyata di sana sudah ada Momo yang duduk di kursi berwarna kuning karena memang catnya berwarna kuning, bukan hitam.
“Mo, kamu sudah lama nunggunya?” tanyaku kepada Momo dengan gugup.
“Nih.. aku juga baru sampai, kenapa kamu gugup? tanya Momo yang agak aneh dengan sikapku.
“Aku nggak papa kok Mo. Kamu pesan dulu gih baksonya dua, aku ijin ke belakang dulu nggak papa ya?” elakku karena melihat jam di hp sorot peninggalan kakekku yang sudah menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit. Aku tahu kak Ilham sebentar lagi akan datang. Maka dari itu aku tak menampakkan diri agar mereka dapat berdua sesuai permintaan kakakku.
Sesuai dengan perkiraanku, kakak datang dengan berjalan kaki karena jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Ia rapi sekali bagaikan orang yang bekerja di pabrik-pabrik, bukan kantor. Ia terlihat sangat tampan menggunakan kemeja hitamnya dengan bercelana jeans berwarna abu-abu monyet. Rambutnya pun dibasahi dengan minyak rambut bagaikan anggota boyband walaupun sepertinya ia akan dikeluarkan dari groupnya karena suaranya fals. Lalu ia dengan gagahnya duduk di depan Momo yang sedang minum es teh manis yang manisnya nggak bakalan ngalahin manisnya aku.
“Hai Mo.. Eh Malika!” sapa kak Ilham.
“Lho, kok kamu tahu nama panggilan sayang Gendis ke aku? Dan kok kamu bisa duduk di sini tanpa permisi dulu? Bukannya kamu kakaknya Gendis ya?” tanya Malika yang bertubi-tubi kepada kak Ilham karena bingung dan curiga.
“Kalau tanya satu-satu ah Ka. Apa Gendis tidak bilang kalau kamu mau dicomblangin sama aku?” jawab kak Ilham dengan lugunya.
“Apa-apaan ini. Aku sudah punya pacar! Apa Gendis tidak bilang ke Kak Ilham? Main jodoh-jodohin. Dikira mainan, apa?” bentak Malika dengan memukul meja seakan tak terima dengan caraku hingga pandangan mata para pembeli lainnya hanya tertuju pada dua insan tersebut.
Lalu aku perlahan mencoba menemui Momo dan Kak Ilham yang sedang ribut di tengah keramaian warung. Tiba-tiba.
“Apa maksudmu Dis, main jodoh-jodohin aku dengan kakakmu ini. Aku sudah punya pacar. Bukankah kamu juga sudah tahu itu? Kamu kira aku apaan? Kamu kira hatiku juga apaan?”
“Bukan gitu Mo, ta…ta…pi.”
“Stop!! Jangan panggil aku Momo lagi. Aku bukan Momomu. Aku Malika.”
“Malika sahabatku…maafin aku.”
“Sahabat nggak akan ngorbanin sahabatnya sendiri seperrtimu!”
“Malika, kekasihku. Kamu jangan salah paham dengan Gendis sahabatmu itu yang telah menganggap kamu sebagai permata keduanya,” kalimat pertama yang keluar dari mulut kak Rehan.
“Aku nggak salah paham Mas, tapi dia malah menjodohkan kekasihmu ini dengan kakaknya,” balas Malika menegaskan.
“Gini lho Ka, Gendis itu menyuruh kakaknya ke sini karena kakaknya suka kepadamu. Ibunya Gendis menyuruh Gendis menuruti apa yang diminta ibunya karena ia tahu kalau ibunya lebih sayang kepada Ilham kakaknya daripada kepada Gendis. Karena Ia sayang kepada ibunya dan ia juga sayang kepada kakaknya ini, Gendis mau mempertemukan kamu dengan Ilham, walaupun ia juga nggak mau menyakitimu.”
“Tapi itu sama saja Gendis tidak menghargai hubungan kita Mas Re!!”
“Dengarkan dulu, dia sebelumnya sudah bicara kepadaku. Aku membolehkan, asal kakakmu tidak aneh-aneh dan itu hanya selama Ilham berada di rumah yang bersisa hanya tiga hari.”
“Tapi gimana kalau aku jadian sama kak Ilham, apa kamu tidak takut?
“Aku percaya sama kamu, kamu nggak akan menghianati janji kita.”
“Owh.. tapi kenapa Gendis nggak pernah cerita soal keluarganya ya?”
Kak Ilham matanya berkaca-kaca mendengar perkataan kak Rehan. Ia lari mengejarku hingga berada di belakangku. Karena aku takut Kak Ilham akan memarahiku, aku lari dan
menyebrang jalan tanpa melihat kendaraan berlalu lalang dengan ramainya. Aku tak peduli, namun tiba-tiba aku tertabrak sepeda motor matic yang melaju dengan kencangnya dari arah belakang. Orang yang menabrakku tak mau ambil resiko, ia melarikan diri dari tempat kejadian. Aku setengah tak sadarkan diri melihat darah dari kepalaku berceceran di sekitarku bagaikan cat merah yang tumpah tak terurus. Aku dikerumuni banyak orang yang ingin ataupun akan menolongku atau tidak. Tapi seorang laki-laki menyerobot masuk menembus kerumunan.
“Gendis….”
“Ka…ka…ka…ka…k.”
“Maafin aku Dis, aku tak tahu tentang pengorbanan hatimu kepada kakak, karena Ibu lebih sayang kepadaku. Maaf, aku juga membuatmu bertengkar dengan Momo, aku membuatmu seperti ini. Maafkan aku adikku… aku nggak pantas jadi kakakmu.”
“Adik? Aku terharu mendengar kakak memanggilku dengan sebutan itu.”
“Iya, kamu Adikku,” jawab kakak sambil berlinangan air mata hingga tetesan air matanya menetes di wajahku.
“Aku merindukan kata itu Kak, aku pengen banget dipanggil “ADIK” oleh kakak yang paling aku sayang. Kakak jangan nangis, aku nggak mau melihat kakak nangis. Aku sayang kakak.”
“Kamu harus kuat dik… kakak akan bawa kamu ke rumah sakit.” Dengan keyakinannya kakak merobek kemeja hitam kesayangannya untuk diikatkan ke kepalaku yang berceceran darah karena terbentur aspal. Tak peduli kemeja itu adalah satu-satunya kemeja yang ia punya pemberian ibu saat ia lulus SMA dua tahun yang lalu.
“Nggak usah ke rumah sakit kak, aku nggak papa. Kak.”
Ibu, Bapak, Momo dan Kak Rehan yang mendengar kabar tentang keadaanku saat ini, langsung pergi dan berada di sekelilingku. Mereka menangisiku seakan menangisi orang yang akan pergi lama dan jauh.
“Dan untukmu Kakakku. Maafkan Adikmu ini yang belum sempat membuatmu bangga karenaku. Jaga dirimu baik-baik Kak, kamu juga permataku. Kalian semua adalah permata yang membuat hidupku lebih berharga. Aku sayang kalian. Aku pengen untuk yang
terakhir kalinya aku mendengar kata “ADIK “ darimu Kak.
“Iya, Adik. Adik harus kuat. Adik… Aku sayang Adik.”
“Aku sayang kalian..” ucapku.
Tubuhku terasa semakin lemas mataku seakan ingin terpejam, hatiku terasa damai, namun dadaku terasa sesak tak bisa bernafas dan hingga jantungku tak mampu berdetak lagi.
“GENDIIIISSSS…” ~

Di Bawah Cahaya Rembulan


Di Bawah Cahaya Rembulan

Oleh : Nur Aenatul Khoria

        Hembusan angin bersiul merdu merasuk menyusupi sepanjang aliran darah. Ilalang – ilalang menari-nari dalam buaian mesra alunan ritme desir angin yang menerpa. Gemercik air mengalir deras membentuk irama musik klasik dalam kesyahduan. Kerlap kerlip bintang menghiasi langit bertaburan penuh warna. Sang penerang malam pun ikut meramaikan suasana kebahagiaan dalam gelora rindu. Saat ini tepat rembulan purnama tengah menguasai jagat malam. Aku pun turut hadir dalam drama musikal alami ini. Bahkan, tak pernah absen untuk selalu duduk termangu diatas batu basar di pojok halaman rumah.

       Entah mengapa???. Pandangan mata ini tak kunjung bosan menikmati suasana pertunjukan alam semesta yang begitu megah. Grup orchestra ala ocehan katak bersautan silih berganti menunjukkan aksinya. Di tambah, segerombolan kunang-kunang berlaga pamer dengan gemerlip sorot cahayanya, yang sok berperan sebagai lighting dalam suatu pergelaran pentas besar. Inilah ketenangan. Lelahku terbayar lunas dengan suasana ini. Kebahagiaan memang tak selamanya dibayar dengan harga mahal. Yaa memang benar, alam semestalah yang mampu membuat senyumku terbelalak lebar. Seberapa banyak uang yang kita miliki tak akan mampu membayar keindahan yang telah Tuhan berikan melalui alam seisinya. Semua hal yang berbau duniawi pun tidak akan kekal selamanya. Justru kefanaan yang selalu mengintai. Dan bagian aktivitas terakhirku sebelum menjelang tidur, memanfaatkan waktu luang untuk berbenah diri memandangi setiap tingkah yang telah berlalu.
Setelah lelah mengikis keringat, karena padatnya aktivitas seharian bersama setumpuk masalah klien yang tak kunjung mereda. Aku selalu menghabiskan malamku dengan duduk santai di bawah sinar rembulan, sekedar untuk mengendorkan pikiran sejenak. Aku tinggal di kawasan perumahan elit tengah kota. Meski tergolong hunian perumahan elit, namun type hunian yang ditonjolkan mengusung nuansa“Natural Green House”. Hal ini dibuktikan dengan kondisi

         lingkungan yang dirancang layaknya suasana pedesaan yang asri. Di seberang jalan terdapat sungai kecil yang airnya mengalir jenih yang dikelilingi rerumputan ilalang dan aneka macam bunga. Di depannya lagi terdapat sawah yang membentang hijau terlihat asri nan elok dalam pandangan. Sedangkan letak rumah disusun berderet memanjang menghadap ke sungai dan sawah yang di batasi dengan jalan beraspal sebagai lalu lalang mobil maupun kendaraan warga sekompleks. Rumahku terletak paling ujung, Blok A nomer 10.

          Memang, aku tergolong orang yang sangat membenci hiruk pikuk keramaian metropolitan yang serba ramai. Di samping padatnya lalu lintas perkotaan yang banyak tercemar polusi, tuntutan pekerjaan juga menjadi faktor utama. Aku harus menetap di kota besar yang sesak dengan polusi udara. Jadi, jelas inilah alasanku untuk memilih lokasi rumah yang stategis di tengah kota namun masih bernuansa alami dan asri. Disinilah aku berteduh. Menghabiskan sisa-sisa perjuanganku bersama Mamak dan Bapak. Menyusuri alur cerita yang telah menghantarkan diriku ini pada titik puncak kebahagiaan. Puncak perayaan dari angan-angan masa lalu. Menghasilkan kerja keras dan semangat yang tersusun rapi dalam bingkai merajut asa, hingga sampai di pintu gerbang masa depan yang gemilang.
            
         Di bawah cahaya bulan purnama yang terang aku selalu bersandar dan berkeluh kesah. Seakan percaya dan tanpa menaruh curiga aku menceritakan semua hal yang aku alami setiap hari. Tak sedikitpun, rembulan itu menunjukkan penolakan. Justru malah nampak tersenyum penuh kepasrahan. Tatapan mantap ditunjukkan dengan sinarnya yang semakin benderang, meyakinkanku bahwa dia tengah mendengarkan kisahku yang penuh corak. Aku memang berbeda dari orang biasanya. Jika banyak orang menceritakan kejadian yang dialaminya lewat buku diary. Tetapi hal itu tak berlaku untukku. Rembulan selalu menjadi teman setiaku dalam berbagai rasa. Walaupun hanya terlihat secelarit untaian benang, ia tetap menyapaku dalam keheningan malam.

          Malam ini, memori dalam otakku terasa sesak. Teringat perjalanan panjang yang terlukis indah terbawa arus waktu. Aku menyusuri setiap langkah dan perjuanganku tempo dulu. Masa- masa suka duka dalam ratapan kepiluan. Semakin dalam aku terjun dalam lembah masa lalu. Maka makin deras pula tetesan air mata ini keluar dari pelupuk mata. Mana mau orang dekat denganku, melihatku saja enggan. Baju yang lungsut dan kucal menghiasi parasku yang polos. Rumah reot beralaskan tanah menjadi tempat sandaran. Bapak hanya seorang pedagang jalanan keliling yang memikul dua tumpukan beban jajanan di pundaknya. Sedangkan ibu, ia hanya seorang ibu rumah tangga yang selalu bergelut dengan perabot rumah. Eee, bukan perabot rumah, lebih tepatnya peralatan rongsok yang masih setia dipakai mamak untuk memasak. Tak ada barang mahal di rumahku. Hanya ada barang-barang yang sudah berwarna kecoklatan yang warna aslinya luntur akibat karat. Nasi dan garam menemani perut yang kosong setiap hari.

          Zara memang selalu dipandang sebelah mata. Ia hanya anak seorang yang miskin. Semua temannya merupakan anak orang yang berpangkat. Hanya ada rengekan dan rengekan setiap hari. “Mamak, Zara mau main???”, pinta Zara dengan penuh harap. Mamak hanya terdiam tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Gelengan kepala pun mewakili jawaban Mamak. Aku hanya terdiam. Mamak segera menyodorkan buku bekas dan pensil yang panjangnya hanya sepanjang jari kelingking kepadaku. Dengan penuh ketelatenan Mamak mendamingiku belajar mengenal huruf abjad dan mengaji. Ya, memang membosankan hari-hariku ini. Hanya itu-itu dan itu lagi. Mamak tak pernah menegaskan alasan mengapa Zara tidak boleh main.

              Suatu ketika, anak seorang insinyur terkaya di kampung berulang tahun. Dan kali ini Zara sangat senang sekali karena baru kali pertama ia diundang dalam pesta. Dalam benaknya terbesit banyak khayalan. “ Wah nanti, aku bisa punya banyak teman, pasti disana banyak makanan, emm pasti enak- enak”, pikir Zara dalam hati. Hari itu, Zara dengan binar wajah yang penuh semangat, segera bergegas meminta mamak menyiapkan baju terbagusnya. Baju andalan Zara yang dibelikan kakeknya pada lebaran tiga tahun lalu. Iya itu, gaun pink yang sebagian rendanya sudah dimakan tikus. Mamak sudah menyiapkan kado untuk si anak insinyur itu. Sebuah buku tulis yang dibungkus rapi dengan sampul warna coklat,siap dibawa Zara sebagai hadiah. Mamak berniat mengantarku bergegas menuju tempat acara ulang tahun berlangsung. Wajah riang penuh gembira menghiasi tingkahku.

            Tepat di depan rumah, Zara dan Mamak menghentikan langkah. Mata Mamak tertuju pada segerombolan anak yang berbondong-bondong di ujung jalan sana. Nampaknya mereka juga akan menghadiri pesta ulang tahun Saras si anak insinyur. Mereka terlihat amat cantik dengan gaun yang dikenakannya. Wajahnya penuh rias sangat cantik melebih cantiknya kisah puteri dalam negeri dongeng. Kakinya pun berhiaskan sepatu kaca yang indah, berbeda dengan Zara yang hanya mengenakan sandal jepit. Mamak menunggu sampai gerombolan anak itu lewat di depan rumah dan berniatan ingin menitipkanku agar bisa berangkat bersama mereka. Zara semakin bergairah penuh rona kebahagiaan. Namun, tak selang waktu lama grombolan anak itu telah persis di depan Zara dan Mamak. Mereka acuh tak acuh tanpa menghiraukan sautan Mamak. Justru mereka malah lari terbirit-birit meninggalkan kami. Sontak semua harapan dan khayalan yang diimpi-impikan Zara sirna ditelan bumi. Zara tak mampu menahan bendungan air mata yang jebol dari matanya. Kucuran air mata Zara menetes serasa tak akan pernah habis. Kata-kata ejekan mereka terngiang-ngiang di telinga Zara. “Kita gak selevel sama kalian, ayoo lari mereka bau busuk”, kata salah seorang anak dari mereka. Dengan penuh kasih sayang Mamak segera memeluk tubuh mungil Zara sambil meneteskan rintikan air yang tak sengaja keluar dari pelupuk matanya. Mamak meredam tangis Zara dengan mengatakan, “Sudah- sudah, sayang Mamak tak boleh cengeng, nanti Zara di antar sama Mamak saja yah nak??”. Kata- kata lembut yang keluar dari mulut Mamak selalu membawa kepercayaan dan ketenangan dalam diri Zara.

                Sekarang aku tahu alasan Mamak melarangku untuk tidak bermain di luar lingkungan rumah. Mereka anak- anak para pemilik pangkat hanya mau berkawan dengan sederajatnya saja. Acuh dan congkak menghiasi hati anak konglomerat. Saat itu, hatiku terasa hancur lebur dalam ketidakberdayaan. Aku mengingat betul peristiwa itu, umurku masih 3 tahun. Namun aku amat memahami kondisi sosial yang terjadi dilingkungan rumahku kala itu. Dimana yang berkuasa mampu
membeli kesalahan menjadi suatu kebenaran hanya dengan setumpuk uang. Yang lemah semakin tertindas, yang kuat terus terbang ke awang-awang dengan bebas. Gerutu menjadi selimut dalam hati dan fikiranku. Aku ditolak mentah-mentah oleh mereka, karena aku hanya berada pada kasta yang paling rendah diantara mereka. Apakah status pertemanan hanya dinilai melalui status sosial???. Jika iya. Maka, inilah letak kehancuran nilai-nilai moral. Karena teori hanya digembar-gemborkan saja tanpa adanya praktek yang mengikat. Lantas dimana letak kemanusiaan yang adil dan beradab di berlakukan. Jika Si Kaya hanya bergaul dengan Si Kaya saja, sedang Si Miskin semakin terpuruk dalam mimpi buruknya, maka dimana letak kesejahteraan yang adil dan beradab itu bertempat.

            Sejak itu, aku menyimpan dalam-dalam rasa kesedihanku. Hanya ada satu niat, tekad dan tujuan yang harus aku perjuangkan untuk merubah nasib. Tak akan pernah aku sia-siakan kerja keras kedua orang tuaku. Akan aku arungi lautan samudera demi mereka, kedua permata duniaku. Walau tak tamat sekolah dasar, namun hatinya suci, bersih dan tulus. Harapan mereka hanya ingin melihat buah hatinya mendapatkan pendidikan yang layak. Bekal yang mampu mereka berikan supaya aku dapat melanjutkan pendidikan dalam jenjang yang tinggi. Siang-malam tak kenal lelah Bapak membanting tulang mnecari pundi-pundi recehan. Kutulusan doa Mamak selalu menghiasi langit-langit rumah. Berharap kelak puterinya menjadi sesorang yang berjaya. Tentunya sukses dunia akhirat. Tak hanya kesuksesan duniawi saja yang Mamak pinta, akan tetapi kesuksesan akhiratlah yang menjadi prioritas utama. Pesan Mamak yang senantiasa terekam di telingaku membuatku semangat, pantang menyerah dan gigih dalam mewujudkan secuil harapan yang mereka dambakan.
Di bawah cahaya rembulan aku berjanji akan memberikan seluruh kebahagiaanku untuk kedua malaikat dunia yang berhati sutra itu. Motivasi terbesar dalam hidupku hanya bersandar pada ridho orang tuaku. Dan kini telah ku raih semua angan setelah aku kembali dari Australia. Berbekal semangat, kerja keras dan doa orang tua, aku mendapatkan beasiswa pendidikan di Australia. Prestasi yang terus mengalir dari jenjang pendidikan sebelumnya mempermudahkan

              langkahku untuk meraih gelar Sarjana Psikologi di Universitas ternama di dunia. Segala syukur aku panjatkan kepada Tuhan yang telah memberikan pelajaran hidup yang berarti kepadaku. Hinaan, cemoohan dan cercaan yang terlontar dari mulut orang pada si miskin ini, menjadi semangat dan motivasi dalam menjalani setiap proses kehidupan yang ku lewati. Seruku dalam batin, “Ya, ini Zara Bapak-Mamak!!! Doa Bapak-Mamak telah menembus ‘Arasy dan Tuhan telah menjawab atas semua harapan dan cita-cita Bapak-Mamak”. Rumah besar berlantai dua bak istana kerajaan menjadi tempat bernaung. Fasilitas yang komplit dan antik menghiasi setiap sudut isi rumah. Lamborgini menemani perjalananku dalam berpergian. Kini tinggal mensyukuri dan menikmati hasil jerih payahku selama ini. Tidak ada kata lain selain syukur dan syukur kepada Tuhan yang Maha Merajai jagat semesta. Kupersembahkan semua hasil pencapaianku hanya untuk Raja dan Ratu hatiku yang telah melahirkanku ke dunia ini. Tanpa pamrih, tanpa ngeluh, dan penuh ikhlas hidup mereka hanya untuk Zara. Walau semua ini belum mampu membalas jasa mereka, namun selama nafas masih menetap, langkah masih terjangkau maka baktiku akan selalu tumbuh untuk mendapat surgamu Bapak-Mamak. Tepat pada hari jadi pernikahan Bapak dan Mamak yang ke-25, aku ajak keduanya beribadah ketanah suci sebagai bentuk rasa syukur nikmat atas limpahan Rahmat Tuhan yang tak akan pernah habis dan senantiasa tercurah kepada keluarga kami selama ini.

Senin, 13 Agustus 2018

Ber-Cakap dengan TUHAN


Ber-Cakap dengan TUHAN

           Semilir angin kala itu seakan membisik untuk terus berlari. Dedaunan yang berguguran berserakan ditiap-tiap jengkal langkahku bergemuruh menjadi saksi bisu, seorang “Aku” yang hanya terdiam sedari tadi. Benar katamu, pikiranku buyar diatas ambang suatu yang nyata dan kini hanya ku anggap ilusi semata. Aku tak mampu menumpahkan setetespun air mata. Semua hanya tersedak dalam dada. Kini, aku benar-benar dalam diamku. Aku hanya mampu menatap nanar setiap sinar yang terpantul dalam keheningan yang kuciptakan. Dengan menghela napas panjang, kuputuskan untuk pergi. Langkahku memang pergi, namun pikirku masih pada sejuta satu petanyaan yang tak bisa kuungkap begitu saja. Dan, saat itulah “Aku”.

           Malam hari ini sangat berbeda. Tepat setelah suara surau-surau mengumandangkan iqomah, lalu kami berjama’ah bersama disebuah surau dekat gubug rumahku. Selepas shalat, aku, ayah, ibu dan Sahli adikku pulang kerumah bersama. Indahnya suasana malam sungguh lengkap dibawah naungan ribuan bintang yang tiga diantara ribuan itu turun temaniku menuju tempat singgah sementara di bumiNya. Malam ini adalah malam minggu, aku tak perlu repot-repot untuk menyalakan lampu obor lagi saat hendak belajar. Karena saat ini, sudah selesai tugasku untuk melaksanakan program wajib belajar 12 tahun dari pemerintah. Berkenaan dengan nyala obor itu, apa kau tahu? Itulah penyemangatku. Malam ini memang sungguh berbeda. Sembari kutatap Sahli yang saat itu sedang duduk dibangku kelas VII, sedang asyik menyaksikan siaran televisi, sesekali pandanganku menuju keluar rumah. Kini, aku benar-benar menatap pesona indahnya jagad raya seraya mengucap kalimatut thoyyibah. Kuangkat jemari tanganku, dan alam bawah sadarku mulai mengembara membayangkan menaiki sebuah pesawat jet atau roket-lah hehe.. aku berkeliling dunia dengan itu. Melihat indahnya aurora di Antartika, dan kemudian mendarat di benua Eropa. Haha..memang berkhayal adalah hal yang paling mengasyikkan bukan? Seakan kita bisa memiliki apa yang kita inginkan untuk sementara meski hanya sebuah fatomargana semata. Akupun tersenyum lepas, dan sedikit tertawa. Nampaknya, ayah melihatku tersenyum sendirian diteras rumah.
“Bintangnya indah ya Zid!”, aku pun menoleh “ Ya yah, suatu saat nanti Zida pengen kita bareng-bareng sekeluarga naik pesawat jet ya yah,, tapi ayah jangan mabok hehe!”. Ayahpun ikut tertawa.” Putri ayah ini kan sekarang sudah mulai dewasa, jadi putri ayah harus kuat ya..!”. aku pun terdiam, seakan apa yang dikatakan ayah barusan, tak ada hubungannya dengan pernyataanku sebelumnya. Sejenak, pikiranku buyar hingga kukernyitkan dahiku

        untuk berpikir panjang. “ Yah, lihat bintang-bintang yang jauh itu, mereka sangat jauh namun
keindahannya hingga menembus bumi. Yah, cahaya yang terpancar dari bintang adalah
cahayanya sendiri bukan dari planet ataupun benda angkasa lain layaknya rembulan”. “ Zida
jadi bintang saja untuk ayah ya nak!”, aku pun tersenyum dan kuanggukkan kepalaku.“Selain
itu, Zida bisa belajar apalagi dari melihat angkasa?”, ayah malah balik bertanya padaku.
“banyak yah,,” sahutku. “soal mimpi yah!, Zida benar-benar ingin jadi seorang dokter”.
“Allah Maha Kaya kog Zid!”.” Ya yah..” jawabku mantap.
Aku terlahir di sebuah desa kecil dekat perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Tanah kelahiranku sungguh kaya. Ayahku berprofesi sebagai petani, namun jika
sedang memiliki waktu luang beliau menyempatkan beralih profesi menjadi nelayan.
Mungkin sebagian orang berkata, “Kog bisa?”. Yups, itulah uniknya. Rumahku berada
ditengah antara laut dan pegunungan. Jadi, kalau ingin ke laut ya tinggal jalan saja sekitar 10
menit. Begitu juga ketika ingin melihat gunung. Gunung-gunung itu bisa dilihat dari bibir
pantai. Dan dengan bangga aku berkata, itulah Indonesiaku. Tak bisa kuuangkap dengan
ribuan kata sekalipun untuk mendetilkan penggambarannya. Rumah dan sawahku
berdampingan. Tepatnya, sawah padi itu berada dibelakang rumahku. Saat masih duduk
dibangku SMP dulu, sepulang sekolah aku sering membantu ayah dan ibuku disawah. Mulai
dari menyiangi padi hingga menjaganya dari burung-burung hama. Pernah suatu ketika,
orang-orangan sawah yang ayah buat ambruk karena angin hujan yang menerjang hampir
seharian. Lalu, aku dan Sahli bergegas ke sawah di keesokan harinya. Kau tahu apa yang
terjadi? Sawah kami sudah tak berbentuk seperti sawah. Aku mencoba memperbaiki padipadi
yang bisa terselamatkan. Dan, yang dilakukan Sahli-lah yang membuatku tertawa. Ia
bergegas mengambil orang-orangan sawah itu dan mengambil bajunya. Setelah itu, memakai
baju orang-orangan sawah lengkap dengan atribut topinya kemudian berdiri seolah
menggantikan orang-orangan sawah tersebut. “Hahaha,, loh Sahli, kog nggak bantuin kakak
malah jadi orang-orangan sawah?”, “Aku ini bantuin kakak lho, bantuin kakak ngusir burungburung
itu”. Hahaha..aku hanya bisa tertawa melihat tingkah lakunya. Terkadang dan sering
Sahli selalu lebih cerdas dariku dengan melakukan hal-hal konyol seperti itu.
Aku masih sangat ingat, tepatnya tanggal 12 Mei pengumuman hasil seleksi beasiswa
itu diumumkan. Aku tak punya handphone android seperti yang lainnya. Jadi, aku hanya
menunggu informasi dari guruku. Segala upaya dan doa telah kuusahakan. Aku hanya berdoa
semoga Allah meridhoi. Petir itu ternyata benar-benar datang. Pikiranku yang penasaran, dan
hatiku yang tak karuan terpaksa harus siap mendengar berita kegagalan ini. Padahal, beasiswa

        ini adalah satu-satunya harapan yang kumiliki untuk bisa mengabdi sebagai seorang dokter. Tatapanku kosong, aku terdiam dan peluh dinginkupun berjatuhan. Selaksa aku ingin menjerit pada langit dan ingin kutembuskan suaraku pada langit ke-tujuh. “Tuhan!,, apa salahku?”. Aku tertegun, kemudian mengingat kemana langkahku ‘kan pergi untuk selanjutnya?. Ayah, maafkan Zida yang tak bisa menjadi bintang untukmu. Aku menangis. Pupus sudah harapanku untuk belajar kejenjang selanjutnya. Aku pulang.“Zid,, bagaimana hasilnya nak?”, tanya ibuku. Jujur, aku tak bisa berkata. Seharian aku membisu. Aku hanya menggeleng dan memasuki kamar. Apa tuhan tak mendengar rintihanku? Orang tuaku bukanlah orang yang mampu secara finansial, jadi jika tanpa bantuan beasiswa itu aku tak bisa kemana-mana lagi untuk menggapai citaku.
Malam itu, aku bercakap dengan “Tuhan”. Aku bersyukur atas kegagalanku 4 tahun yang lalu dan bersyukur atas aku yang sekarang. Meski saat itu aku benar-benar hancur dan kehilangan masa depan, ayah selalu ada disampingku bahkan saat aku tak berkehendak kemanapun dan hanya mampu terkulai lemah diatas kasur. Saat itu, ayah membacakan satu ayat dari al qur’an. Dan berkata, “ nak sesungguhnya Allah Tuhanmu telah bercakap pada hambaNya melalui firman-firmanNya. Bacalah Al qur’anmu. Semua solusi dari permasalahnmu ada didalamnya asal kamu mau bertafakkur”
“wa’asaa an takrahu syaiian wa hu wa khoirun lakum, wa ‘asaa an tuhibbu syaian wa hu wa syarrun lakum”
“Zid, terkadang apa yang kamu benci adalah apa yang terbaik untukmu dariNya, dan terkadang apa yang menurutmu itu baik justru merupakan sesuatu yang buruk untukmu, begitulah Allah berfirman dalam surat Al baqarah ayah 216”. Ya, begitulah kata ayahku. Aku menangis dan beristighfar menyebut asmaNya. Dalam keheningan malam, aku mencoba terus bercakap dengan tuhanku. Aku yakin, Allah Maha Mendengar, Maha Kaya, Maha ‘alim, dan Maha atas segalanya. Beberapa hari setelah itu, keyakinanku dikuatkan oleh ayah untuk melanjutkan pendidikan distrata satu. Beliau berkata, aku harus tetap bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ku bulatkan tekadku dan akupun mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri. 15 hari setelah itu, hasil seleksi sudah bisa dilihat. Aku meminta Nuris tetanggaku untuk membuka hasilnya, dan saat itulah aku bisa tersenyum kembali. “Wahai cita-citaku, ternyata Tuhanku berkehendak berbeda”, batinku dalam hati.

            Akupun memasuki dunia perkuliahan saat ini. Menjadi anak rantau dari perbatasan kemudian beranjak ke ibu kota, dengan uang saku seadanya. Selang beberapa minggu disini, aku mendengar ada beasiswa bantuan pendidikan bagi siswa miskin dan berprestasi (“BIDIKMISI”). Aku meminta restu dari orang tuaku dan ridho dari tuhanku. Saat itulah pintu dunia milikNya yang maha luas ini mulai terbuka. Aku diterima sebagai salah satu penerima beasiswa tersebut. Itulah aku 4 tahun yang lalu. Malam itu, aku bercakap dengan tuhanku dan kemudian untuk malam-malam setelah itu. Aku benar-benar bersyukur atas kegagalanku dan itulah kehendakNya. Berkat ridho Allah dan rasa keingin tahuanku yang tinggi akan segala yang Ia ciptakan, kini empat tahun masa juangku telah berakhir. Aku menemukan sebuah inovasi dibudang agroteknologi dengan melakukan sebuah penelitian kemudian menjadikannya suatu produk pertanian. Berkat wasilah itulah, aku berhasil melanjutkan studi di Canberra University, Australia. Aku yakin bahwa Allah tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia . Begitulah firmanNya. “Zid,untuk setiap kegagalan janganlah kau bersedih, habiskan kegagalanmu itu dengan usaha, i’tikad dan tawakkal yang kuat. Hingga yang tersisa hanyalah keberhasilan dan kesuksesan. Allah Maha atas segalanya, ingatlah itu Zid!”. Begitulah kata ayahku, obor semangatku yang tak pernah padam.
Semarang, 21 April 2018
5

Serangan Balik

Serangan Balik

Oleh : Nurul Munzayanah


          Apalagi hendak didengar, semburat api menyeringai menyelisik pada setiap kesempatan. Gurat harapan kian padam didera celotehan para pujangga liar. Mereka yang terus menampar Piyan dengan berbagai hujatan macam tungku api yang menyala-nyala. Semisal disiram dengan tumpahan pembelaan pun percuma saja. Abaikan, anggap tidak pernah ada, hanya suara serangga penggerutu di dalam semak, samar terdengar. Setidaknya itu yang mampu dilakukan Piyan kala mereka berlomba-lomba menghujat gelar sarjana yang kini mengekor di belakang namanya. Gelar itu dipetiknya di salah satu Universitas Negeri di kota. Mengenyahkan diri dari desa dan keluarga selama empat tahun, kini ia kembali lagi dan sampai pada detik dimana gelar itu menjadi pecundang. Pecundang yang terus menyulut para tetangga-tetangga untuk sibuk menerpa hujatan.
       Setahun lebih Piyan memperlayangkan surat lamaran pekerjaan, setahun lebih pula ia menanti panggilan yang hanya berujung semu. Gelar sarjana itu tak memberinya sedikit bantuan sama sekali. Pernah suatu ketika lamarannya diterima oleh perusahaan milik pemerintah yang mengharuskan ia untuk menetap di luar kota, namun ditolaknya. Semua itu karena Suliyanti melarang anak semata wayangnya itu untuk meninggalkan desanya lagi. Piyan sendiri pun tak pernah tega jika harus meninggalkan ibunya bergulat dengan hidup sendirian di Rumah. Mengingat, dua tahun silam ayahnya telah pergi ke tempat dimana Tuhan ada. Berbekal ilmu dari pondok pesantren yang ia simbahi pada masa kuliah, Piyan dengan penuh keikhlasan menerima tawaran dari seorang sahabat kecilnya yang belum sempat berkuliah. Asrof, namanya. Pemuda tangguh yang tak mudah menyerah juga baik hati kepada siapa saja.
         Asrof menawarkan pekerjaan di sebuah pabrik yang menjadi satu-satunya pabrik industri di desanya. Sempat berat hati pun berat langkah. Lewat segala pertimbangan. Piyan menerima ajakan karibnya yang sudah lebih dulu bekerja di sana itu. Sebuah pabrik industri pengemasan seafood. Berawal dengan pikiran positif bahwa nantinya Piyan akan diterima ditempatkan pada jabatan yang sepadan dengan gelar sarjana yang disandangnya. Tak payah berpikir lebih jauh, kenyataannya Piyan justru dipekerjakan di bidang yang setara dengan Asrof, sebagai pekerja buruh pabrik. Kali ini benar-benar acuh soal gelar sarjana, rasa kekecewaan yang teramat dalam mendera begitu saja sejurus saat seragam biru dongker yang biasa dipakai buruh pabrik meluncur di tangan Piyan. Hatinya mendesah kesal bahkan sempat
           menyesal seakan tidak ada gunanya ia selama ini mengenyam pendidikan di perkuliahan, jikalau pada akhirnya sama saja dengan mereka yang tidak berkuliah.
Petunjuk Tuhan masih berpihak pada Piyan lewat Suliyanti. Suliyanti terus menyuapinya dengan berbagai petuah selayaknya kasih orang tua kepada anaknya. Perlahan rasa kekecewaan Piyan mulai pudar. Suliyanti menekankan bahwa tidak boleh ada penyesalan dalam mencari ilmu, setiap muslim diwajibkan mencari ilmu untuk meraih rida Allah, niatnya bukan untuk mencari pekerjaan, tukas Suliyanti. Seklumit kalimat istigfar keluar dari mulut Piyan sejurus ia menundukkan kepala. Piyan agaknya mulai sadar, jiwa putihnya mulai terbuka kembali. Belajar menerima segala sesuatu dengan ikhlas, toh rencana Tuhan pastilah yang terbaik untuk umatnya dan rezeki pun sudah ada yang mengatur, sajaknya dalam hati.
         Pagi menyongsong dari arah timur, jam tangan coklat berjarum hitam menunjuk angka enam, Piyan nampaknya telah terkesiap dengan pagi pertamanya ia bekerja. Hanya butuh waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki untuk sampai di pabrik. Sebenarnya naik angkot pun bisa, bila ingin lebih cepat. Namun lari pagi agaknya pilihan yang lebih menyehatkan.
       Pabrik terlihat mulai terjamah, para pekerja buruh pabrik mendominasi. Seperti lautan dongker yang mulai membaur pada sarangnya. Diantara mereka pandangan Piyan tersudut pada temannya Asrof, nampaknya ia tengah berjalan bersama lelaki cungkring bertopi yang ia rasa belum pernah dilihat sebelumnya, terlihat akrab dengan Asrof. Mengabaikan itu semua Piyan mempercepat langkah kakinya. Berjabat tangan sekedar melebur keakraban. Piyan pun mulai berkenalan dengan Edo, pria cungkring tadi. Tak lama, mereka bersama masuk ke pabrik.
Empat hari berlalu, terasa sangat lama. Ia tak terbiasa bekerja berjam-jam dan dituntut untuk terus bergerak, tak cukup sulit pekerjaan itu, hanya saja benar-benar membuat otot tegang terkhusus untuknya yang masih pekerja baru. Hari ini tepat hari Jumat, dimana umat muslim laki-laki wajib melaksanakan salat Jumat, mendengarkan khotbah, dan menjalin silaturahmi dengan sesama muslim. Sungguh, hari Jumat adalah hari yang sangat mulia. Tak pelak, Piyan yang selama ini bersimbah ilmu di pondok pesantren sangat antusias menyambut ini. Sebelum jam istirahat bergeming tepat pada waktunya, ia lantas bergegas hendak menuju masjid terdekat. Masjid terdekat dari pabrik kira-kira tiga kilometer. Jika tidak segera meluncur, khawatir akan terlambat. Ia terperanjat sejenak tatkala menemui pegawai pabrik
yang sejatinya juga muslim enggan berbenah bahkan mereka semua tenang-tenang saja, kecuali dirinya.
          Jam tepat menunjuk pukul 11.40 WIB. Semua pekerja nampak masih sibuk dengan job masing-masing. Piyan yang sedari tadi berpeluh-peluh akibat pergulatan dalam batinnya, tangannya masih memindai beberapa ikan yang kemudian dikelompokkan di suatu wadah. Namun, mata serta pikirannya melayang dan terlempar kesana-kemari. Sesekali memilah ikan, sedetik lagi mengawasi rekan-rekannya yang lain. Hingga tiba pukul 11.50, batas kesabaran Piyan mulai retak. Istirahat masih sepuluh menit lagi. Ia memutuskan untuk bergegas pergi menyaut sarung bermotif kotak lalu mengikatkan pada pinggangnya, mendesalkan peci putih di batas sarungnya kemudian berlalu dari hiruk pikuknya pabrik. Gejolak amarah sempat memenangi suara hatinya. Sekali lagi ia harus bersabar ria.
           Masjid sudah mulai sesak saat Piyan tiba. Adzan kedua sudah terkumandangkan dua menit yang lalu. Sekiranya khutbah pertama akan segera dimulai, Piyan pun hanyut dalam sangkar kekhusyukannya. Selesai sholat yang diikuti do‟a, kira-kira pukul 13.10 WIB. Ia beranjak dari kekhusyukannya yang membuahkan kedamaian hati jauh dari suasana pabrik yang teramat rusuh. Piyan melenyapkan diri dari masjid menuju pabrik, kali ini ia tak sedang ingin buru-buru dan memutuskan untuk berjalan kaki saja. Sambil sesekali merenungkan rekan-rekannya tak terkecuali Asrof yang dulu pernah menjadi teman mengajinya. Kini Asrof juga mulai tidak memperhatikan kewajibannya. Sedikit banyak karena terpengaruh kebiasaan lingkungan disana. Seakan tidak ada satu pun yang peduli.
“Hei, dari mana saja kau, anak baru sudah berani telat. Sekarang jam berapa. Emang pabrik ini punyamu apa,” gertak seorang lelaki berbadan kekar yang tiba-tiba saja menyambar saat Piyan hendak masuk ke dalam pabrik.
“Maaf, saya terlambat. Tadi saya salat Jumat dulu pak,” balas Piyan dengan nada halus karakternya sedikit berharap mendapat pemakluman.
“Hahaha… salat Jumat? Sudah, apapun itu kamu sudah terlambat satu jam.”
“Sekali lagi saya minta maaf, harap dimaklumi pak, saya baru disini,”
“Hemmm…baik, kali ini saya tolerir karena kamu masih baru disini. Tapi kalau sampai terulang lagi, saya akan laporkan kamu ke bagian pimpinan dan kamu akan dipecat, hahah… camkan itu.”
Piyan diam, menyudahi.
Seusai bel tanda selesainya kegiatan pabrik hari ini, Asrof mendatangi karibnya.
“Yan, tadi kata Edo kamu dimarahi keamanan pabrik ya? Kamu mau kabur? Ada apa si yan?” tanya Asrof penasaran.
“Husss… siapa yang mau kabur. Rof sebentar aku tanya..tadi kamu ngga salat Jumat?”
“Hah, kata siapa. Kan wajib. Ya Salatlah, di akhir khotbah kedua aku datang bersama yang lain dan selepas salam aku langsung kembali naik angkot. Kalau tidak begitu bisa kena marah nanti. Tau sendirilah peraturan disini sangat ketat. Pekerjaan tak bisa ditinggal lama. Ya begitulah, sob, yang penting tetap sahkan? Lagian urusan pahala itu bukan urusan kita,” ulas Asrof.
“Tetapi Rof, salat Jumat hanya satu kali sepekan. Memberi kelonggaran waktu beberapa menit hanya untuk sehari dalam sepekan seharusnya bukan hal yang layak dipersulit. Toh sebagian dari kita juga muslim,” Piyan menimpali.
“Kamu benar, kami pun mengharapkan begitu dari dulu Yan. Tapi mana ada yang berani bicara dengan si Toni super kejam itu, bisa-bisa nanti kita dimakan hidup-hidup. Disantap pegawai sepabrik,” keluh Asrof sedikit bergurau.
Piyan hanya diam, dalam hatinya mendesah, benih-benih gejolak amarah mulai tumbuh. Merasa sudah sangat dibatasi. Jumat yang seharusnya menjadi hari penuh kedamaian, menjadi terasa biasa saja jika para pekerja pabrik melakukan hal seperti setiap Jumatnya. Pikiran Piyan kini mulai penuh dengan getar-getir keresahan, seharusnya tidak begini, dia masih baru disana. Entah. Perhatian Piyan kini tak sudut pada apapun. Batu-batu kecil di jalanan serasa mengajak berkelahi. Tangannya refleks menyaut sebuah batu, melemparnya ke sembarang arah, tak sengaja batu itu melejit ke arah sebidang tembok dengan kuat, memental keras disana. Tembok itu seakan memberi perlawanan, ia tak mau dilempari. Membuang lagi si batu. Piyan terhenti langkahnya tiba-tiba, memandangi tembok itu, pandangannya kosong, tapi ada yang dipikirkan. Entah apa.
“Yan, ngapain berhenti, ayo cepat sudah sore!”
“Serangan balik, ya serangan balik,” ucap Piyan refleks, pandanganya masih tak tau arah.
Piyan masih enggan. Asrof berbalik arah dan meraih bahu temannya. Piyan kembali mendapatkan kesadarannya. Mereka pun melanjutkan perjalan di setapak senja itu.
Sepekan berlalu, tiba di hari jumat. Piyan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya jumat lalu. Ia terlambat menuju pabrik. Ketersengajaan yang sememangnya ia inginkan. Kali ini berbeda, Piyan harus menghadap pak Toni, salah satu pimpinan yang kejam kata Asrof beberapa waktu lalu. Langkahnya tak nampak ragu, raut wajahnya biasa saja, seakan tidak sedang akan masuk kandang harimau saat memasuki sebuah ruangan kantor yang berada di lantai dua itu. Ruangannya sangat bersih dan nyaman, tata letaknya indah dan warnanya elegan ditambah lagi dengan dua AC yang menggantung apik membuat ruangan itu benar-benar semakin nyaman. Beberapa menit Piyan duduk hanya memandangi sekeliling ruangan itu tanpa rasa khawatir sedikitpun. Ia merasa tidak salah.
“Ehemmm… ehm..,” terdengar suara deham yang dibuat-dibuat, Piyan membalikkan pandangan.
“Kamu Piyan? Buruh baru yang sudah berani melawan peraturan disini itu?” Tanya lelaki pembuat deham tadi, ternyata dia pak Toni.
“Maaf pak…”, ucap Piyan sedikit agak risih dengan kata „buruh‟.
“Apa katamu? Maaf? Kata macam apa itu, maaf-maaf. Pabrik ini butuh pekerja yang disiplin bukan pemilin waktu macam kau. Ini peringatan terakhir dari kami selaku pimpinan. Jika pekan depan kau mengulangnya lagi jangan harap kami mentolerirnya, memecat kau mudah saja. Telat satu jam, itu bukan telat. Sengaja, kau pasti sengaja.” Suaranya mulai meninggi.
“Ya pak,” sedikit dari Piyan. Membuat Pak Toni malas bergema lagi dengan amarahnya.
Pekan ketiga, hari jumat. Kali ini Piyan melakukan strategi khusus, ia bekerjasama dengan pamannya yang juga seorang juragan angkot. Piyan meminta beberapa angkot pamannya yang biasa lewat jalur masjid dan pabrik sementara diliburkan. Atas permintaan keponakan kesayangannya itu, paman Atok menyetujui. Pada saat para pekerja pabrik hendak kembali tepat setelah selesai salam, mereka tak mendapati angkot yang lewat. Pilihan terakhir adalah berjalan kaki. (Perlu diketahui bahwa pihak pabrik juga melarang pekerja buruhnyauntuk membawa motor, alasannya tidak begitu jelas). Alhasil, jarak membuat mereka semua terlambat berjamaah sampai di pabrik. Sungguh, pemandangan yang teramat dibenci para pimpinan pabrik. Sampai-sampai operasi pabrik saat itu belum dimulai, menunggu para pekerja laki-laki yang sekiranya 30% dari keseluruhan total pekerja. Berdampak pada semua menjadi tertunda, bahkan tidak bisa beroperasi. Piyan hanya tersenyum.
Pak Toni sangat marah, benar-benar dengan suara paraunya ia berteriak,
“Semua masuk, sekarang!!! Sekarang!!!”

Para pekerja hanya diam, menundukkan kepala lalu menuju bagiannya masing-masing. Semua tercengang keheranan. Tak ada sepatah kata lagi selain disuruh masuk. Pak Toni pun enggan memusatkan perhatian pada Piyan yang sedari tadi berani melepaskan senyum seenaknya. Ada apa dengan pak Toni, hanya ada dua pilihan, antara marah dan sangat marah. Beberapa menit setelahnya, sebuah amplop putih polos tertera nama "Sofiyan Ahmad" meluncur di tangan Piyan, amplop itu untuknya. Perlahan ia buka, ternyata kertas. Bukan uang. Jelasnya sebuah surat yang menyatakan bahwa Piyan atau Sofiyan Ahmad diputuskan dari hubungan kerja dengan pabrik. Piyan masih diperbolehkan bekerja sampai Kamis depan saja selagi pihak pabrik mencari pekerja pengganti. Benang merah ditarik panjang, bahwa mulai Jumat depan tidak boleh ada wajah Piyan lagi di lingkungan pabrik.

Piyan tertawa hampir terbahak-bahak, sedikit ditahan. Ia justru senang mendapat surat tersebut. Kemudian dibalaslah surat itu olehnya, dengan membubuhkan dua kata "Serangan Balik" di setiap akhir kalimat yang ia tulis.
Hari itu hari Kamis dan hari terakhir Piyan bekerja di pabrik. Beberapa dari rekannya mulai meminta berjabat tangan dan memberi beberapa untaian kata semangat. Piyan membalas dengan pelukan gaya lelaki yang menabrakkan bahunya sedikit keras. Kemudian berbisik, "Pertahankan keterlambatanmu pada Jumat esok hari, Seranglah balik kawan! Pintaku terakhir." Bisikan itu sedetik membuat masing-masing dari mereka tercengang kebingungan namun jelas memberi penekanan kuat. Terkhusus Asrof, kepadanya ia tidak berbisik melainkan secara terang Piyan meminta karibnya itu untuk memimpin keterlambatan yang direncana esok hari. "Tidak akan terjadi apapun, percayalah Sob," ucap Piyan mencoba meyakinkan.

Jumat berkah, penuh keberkahan. Jangan ada yang merusaknya. Seakan kalimat itulah yang sedang bergema di hati para pekerja pabrik kala itu. Mereka bersama-sama
memanfaatkan waktu Jumat itu dengan selengangnya. Tak ada yang boleh mengganggu setelah salam, membiarkan diri untuk menjalin hubungan lebih dengan Tuhan. Ya, semuanya mengikuti saran Piyan. Hubungan dengan Tuhan jauh lebih penting dari hubungan dengan atasan. Hem.. Membuat kedamaian hati.

Di waktu yang sama, lain tempat. Para pimpinan pabrik mulai resah kebingungan. Mereka merasa mendapat penekanan balik. Jika seperti ini terus, sistem pengoperasian pabrik akan terhambat. Target yang dipenuhi bisa saja tidak akan tercapai.
"Benar-benar mengganggu ini pak, apa yang harus kita lakukan? Pemotongan gaji akan membuat mereka unjuk rasa, pemecatan kepada mereka semua tentu suatu hal yang tidak dimungkinkan. Tak bisa dipungkiri kita butuh mereka pak. Mereka berjumlah banyak. Bisa-bisa pabrik dirobohkan kalau mereka semua menyatukan amarahnya, lalu bagaimana!" ujar pak Toni kepada pimpinannya, pak Adi. Ia adalah pimpinan tertinggi sekaligus pemilik penuh atas pabrik itu.
"Panggil Piyan kesini sekarang!" Tukas pak Adi yang sedari tadi menahan secarik kertas di tangannya.

Para pekerja telah kembali dari rumah suci kepunyaan illahi. Raut wajahnya terlihat berseri, menandai kedamaian hati karena merasa utuh di hari Jumat ini. Mereka dikumpulkan di pelataran samping pabrik. Ada juga pak Toni, pak Adi, tak lupa dengan Piyan. Tidak ada yang tahu apa maksud dari semua ini sebelum pak Adi berbicara.

Pak Adi menyampaikan bahwa pihak pabrik akan segera membangun masjid tepat di samping kanan pabrik. Setidaknya mutualisme antara pihak pabrik dan para pekerja telah tercipta. Solusi ini adalah ide dari si penyerang balik itu, lewat suratnya. Surat yang ditulis Piyan tempo hari. Lanjut pak Adi memberi balasan surat dari Piyan hari ini. Diserahkannya seclarik kertas, surat itu tentang kenaikan jabatan untuk Piyan. Manajemen keuangan pabrik, sesuai dengan sarjana akuntansi yang disandangnya. Sempat terperanjat seluruh yang hadir pada saat itu. Seperti tidak percaya bahwa rencana besar Piyan menyerang balik benar-benar berhasil memasukkan umpan ke gawang lawan dengan tepat. Ya, Goal emas.

Tiga Forum KIP-K UIN Wujudkan Organisasi Visioner dan Solutif Lewat Studi Banding

  Purwokerto– Forum Mahasiswa KIP-K (FORMAKIP) UIN Walisongo Semarang, Asosiasi Mahasiswa Bidikmisi dan KIP-Kuliah (ADIKSI) UIN Prof. K.H. S...