Senin, 05 Mei 2025

*Perjalanan Hidup*



Sumber : Pixabay.com

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

Lewat tulisan ini, aku akan menceritakan sebuah perjuangan seseorang melawan pahitnya kenyataan. 
     Namaku, Rumaisha Afda Alfahra. Terlahir tanpa Ayah dan Bunda. tidak membuatku patah semangat dalam menggapai cita-cita dan menghadapi kehidupan yang keras seorang diri. Aku tahu memang sangat kecil kemungkinan, tapi bukankah Allah akan memberikan suatu jalan kemudahan?
     Hari-hari, aku baktikan dengan berjualan koran di pinggir jalan. Tidak bisa bersekolah, bermain, jalan-jalan, tidur pulas, makan enak, dan yang paling miris lagi, tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua. Aah … rasanya tak kuat.
     Aku tidur bermodalkan kardus, baju pun tidak bagus, makan sehari sekali, itu pun kalau uang hasil jualan laris manis. Tau sendiri ‘kan, sekarang zaman sudah serba canggih. Mau baca, nulis, jualan, semuanya sudah bisa diakses di internet, asal ada gawai saja, sih. 
     Terkadang, iri dan sedih melihat anak-anak yang berleha-leha menjemput mimpinya, padahal tugasnya cuma satu, belajar. Minta ini itu tinggal bilang, orang tua langsung kasih. Lantas kurangnya dimana? Sampai belajar malas-malasan begitu. Astaghfirullah.
     Dulu, ketika masih bersama Nenek, lebih tepatnya Nenek angkat. Beliau menemuiku tergeletak di jalanan, umurnya kira-kira sekitar satu tahun, katanya. Entahlah, aku tak ingat masa-masa itu. Mungkin karena masih kecil kali, ya?
     Nenek adalah penguatku kala ingin menyerah. Aku  mengingat obrolan kita saat duduk di teras Masjid. “Sha, cita-cita kamu mau jadi apa?” tanya Nenek sembari mengelus rambutku.
“Aku mau bahagiain, Nenek.” jawabku saat itu.
“Aamiin. sepertinya, Nenek tidak bisa menyaksikan kesuksesanmu, Sha,” aku hanya membalas dengan senyuman.
“Tapi Nenek percaya, bahwa kamu bisa menjadi orang hebat. Yakinlah, setiap  kesulitan itu pasti  ada kemudahan.” Nenek mendekap erat diriku. Hangat, pelukan yang sebelumnya tak pernah aku rasakan. 
     Ternyata percakapan itu, percakapan terakhir. Setelah melaksanakan sholat ashar. Nenek menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menjerit histeris ketika mengetahui Nenek telah tiada. Hingga berbulan-bulan, aku seperti tidak tahu arah, persis orang yang tidak mempunyai akal.  
     Semenjak kejadian meninggalnya Nenek, hidupku hancur. Satu-satunya orang yang baik, peduli, selalu ada, selalu menjaga diriku telah pergi. Impian untuk membahagiakannya hangus bersama dengan kepergiannya.
     Hari ini, tepat satu tahun aku kehilangan, Nenek. Seseorang yang sangat berarti bagiku. Wanita tua pemilik alis tebal, dengan kemurahan hati menjaga anak yang tak jelas asal-usulnya. Terima kasih telah membersamaiku, di sini aku akan terus merindukanmu.
***
    Sudah hampir dua puluh tahun aku menjelajahi dunia, khususnya di desa Cienteung. Langkah demi langkah kulalui bersama bayang-bayang masa lalu. Entah berapa kali, kaki ini menyentuh panas aspal jalanan, tapi tetap saja aku harus bertahan. 
    Memang benar, terkadang pertanyaan yang sulit tak kunjung mendapatkan jawaban. Oh, Tuhanku bumi-Mu terlalu luas untuk aku tempati seorang diri tanpa siapa pun di sini. Ke manakah kau akan menuntun diri ini?
    Dulu, aku tidak percaya adanya Tuhan. Namun, almarhumah Nenek beralis tebal mengenalkanku dengan Tuhannya. Kata beliau, Dia adalah Tuhan Maha Esa, yang senantiasa mengabulkan do’a para umat di bumi. Dia memiliki sembilan puluh Sembilan nama baik. Hati ini terasa tenang mendengarnya.
 
    Sambil membawa koran, aku duduk di tepi jalan raya,  menunggu lampu merah tiba. Pikiran ingin terus berputar ke masa beberapa tahun silam, tapi aku urungkan. Karena, melihat anak kecil menangis, dia berjongkok dengan tangan memeluk kedua kaki.
“Dek, kamu kenapa?” Suara tangisnya semakin kencang. Aku jadi khawatir.
Aku ikut berjongkok dan mengelus pucuk kepalanya, “sayang, anak manis. Jangan nangis, ada Kakak di sini.” 
“ Kakak, aku takut sendiri,” katanya berbalik menghadapku. Aku bingung, mengapa anak secantik dan semanis ini dibiarkan sendirian di jalanan. Rasanya, ingin kujambak rambut seseorang yang berani meninggalkannya.
“Tenang, sayang. Sekarang, kamu sudah bersama, Kakak,” ucapku sembari tersenyum padanya. Tidak lama kemudian, dia berhenti menangis. 
“Kakak tahu di mana rumahku?” Aku menggeleng, “tadi, aku habis dari Mall. Terus, pas jalan pulang Mama suruh aku turun dari mobil, padahal ‘kan mainan itu nggak jadi aku ambil,” lanjut anak kecil tersebut.
“Terus, Mama tinggalin kamu di sini?” tanyaku dengan nada lebih tinggi.
“Iya. Kata Mama, aku anak bandel, enggak nurut, bodo, manja, cengeng, pinter ngadu dan … aku hafal segitu, Kak.” Aku meremas koran. Tega sekali Mamanya menelantarkan. Apa dia tidak mengkhawatirkan anak ini? Bagaimana jika diculik?

    Semakin berganti tahun, zaman semakin kacau saja. Seorang Ibu yang seharusnya menjaga, merawat, mendampingi, membimbing dan  mengayomi malah terang-terangan meninggalkan anaknya. Merinding rasanya..  Aku menegaskan pada diriku sendiri tidak akan menjadi seperti Ibu anak ini.
“Kamu yang kuat sayang,” sanggahku sambil kembali memeluknya, “eh, tapi dia Mama Kandungmu, ‘kan?
 Siapa tahu Mamanya palsu. Dia masih tertunduk, dan belum menjawabnya. Hmm … aku jadi curiga. Eh, tunggu, dia menangis lagi. 
“Adek …,” ujarku mengangkat dagunya. 
“Hu – hu – hu. Kenapa Kakak tanya aku?” Aduh, kok, makin deras air matanya. Lagian, pake keceplosan segala ini mulut. Dasar ember.
“Kakak minta maaf, ya?!” Aku menghapus air matanya, lantas  membiarkan dia tenang. 
“Aku terima maaf, Kakak, tapi ada syaratnya,” balasnya.
“Apa?”
“Aku ikut ke manapun, Kakak pergi,” pintanya padaku.
“Kamu siap luntang-lantung, enggak makan, jualan koran, tidur dari alas kardus, baju jarang ganti dan masih banyak lagi?” tanyaku sambil menatap matanya.
“Siap!” 
    Lucu sekali anak kecil, umur lima tahunan ini. Masa mau aku ajak sengsara semangat, sih. Terlalu naïf rasanya membawa dia dalam kehidupanku. Dia tidak tahu saja, bagaimana berada di posisi paling bawah. Semoga kamu dipertemukan kembali dengan keluargamu.
“Eh, iya. Nama Adek siapa?” 
“Namaku, Arsy. Kalau Kakak?” Aku mengucap syukur pada Tuhan yang Nenek kenalkan. Satu sisi senang, satu lagi sedih. Senang, karena ada teman, dan sedih kala memikirkan nasibnya nanti. Lupakan, yang paling penting dia bahagia.
“Rumaisha.”  Kita pun tertawa bersama. Mulai detik ini, aku akan terus menjaga dan memperlakukan dirinya seperti Nenek padaku.
    Setelah itu, aku dan Arsy pergi mencari tempat untuk tidur malam hari. Kita berkeliling dari satu kampung ke kampung lain, tapi tak ada orang yang mau menampung atau memperbolehkan tidur di luar teras rumah. 
    Hari sudah semakin sore, matahari mulai tenggelam. Tidak adakah orang yang mau menampung kita, semalam saja. Kasihan Arsy, dia kelihatan kelelahan sekali. Akhirnya aku ambil keputusan untuk tidur di pos ronda dekat pertigaan. Tak masalah, meski kena marah.
“Arsy, malam ini kita tidur di sini, ya,” kataku sembari berdiri menyeimbanginya.
“Nanti, kalau diusir kayak tadi, gimana?” Terlihat mata Arsy sudah mulai sayu.
“Tidak masalah, sayang.” Bagiku lebih baik nanti diusir daripada melihat Arsy kelelahan.
    Pagi hari, aku terbangun dan mendapati tidak ada Arsy, di sisiku. Ke mana dia? Aku terus memanggil namanya, sampai pada yang terakhir kali, aku menyadari satu hal. Ini bukan  di pos ronda, tapi aku berada tepat di pinggir jalan.

    Sebenarnya apa yang telah terjadi padaku? Tiba-tiba saja, aku merasakan nyeri di kepala. Ternyata, saat aku berjualan, salah satu mobil menghampiri dan menabrak dari arah kanan. Itu artinya pertemuan dengan Arsy pun hanya sekedar mimpi? Ah … lagi dan lagi realita mempermaikanku. Mungkin, meratapi takdir akan menjadi hobbyku setelah ini. Setelah dirajam pahit manisnya pengharapan. 
Tidak ada kehidupan yang sempurna. Karena, sedih dan bahagia akan selalu hadir menyapanya. Maka, jadikanlah sabar dan syukur menjadi penyempurna segala rasa.



 
Penulis : Ummu Hafadzoh Az-Zahra
Editor : Ahmad A'inur Rifqi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiga Forum KIP-K UIN Wujudkan Organisasi Visioner dan Solutif Lewat Studi Banding

  Purwokerto– Forum Mahasiswa KIP-K (FORMAKIP) UIN Walisongo Semarang, Asosiasi Mahasiswa Bidikmisi dan KIP-Kuliah (ADIKSI) UIN Prof. K.H. S...